Hangat?

486 100 44
                                    

And God knows I'm not dying but I breathe now
And God knows it's the only way to heal now
With all the blood I lost with you
It drowns the love I thought I knew

(My Blood, Ellie Goulding)

--------------------------------------

"Jadi kau akan pindah ke luar negeri?" Jihoon bertanya, tidak berusaha untuk menyembunyikan nada sedih dari suaranya.

"Begitulah," jawabku, sambil kemudian ikut bergabung bersama Jihoon berbaring di atas kasur. "Setelah kakek pulang dari perjalanan bisnisnya dan aku mengatakan 'iya' maka urusan kepindahanku akan segera diurus."

"Dan kapan itu akan terjadi?" tanya Jihoon lagi, dengan suara yang kali ini terdengar begitu ragu. "Maksudku... untuk kepindahanmu."

"Entahlah," aku, yang berbaring telentang tepat di sampingnya, menolehkan kepalaku untuk melihat Jihoon yang juga sedang menoleh padaku. Kusunggingkan seulas senyum simpul padanya untuk membalas tatapan matanya yang begitu muram. "Bisa saja satu atau dua minggu dari sekarang."

Jihoon tidak mengatakan apapun setelah mendengar jawabanku. Dia hanya terdiam dan kembali memalingkan wajahnya untuk melihat langit-langit kamarku, sementara aku sendiri juga tidak mencoba untuk melanjutkan obrolan. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan padanya. Sesuatu yang ingin kuceritakan, yaitu mengenai rencana kepindahanku ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahku, sudah kuungkapkan semuanya.

Beberapa menit telah berlalu dan kebisuan di antara kami membuat susana kamar ini menjadi begitu suram dan menyedihkan. Sama-sama menatap nanar langit-langit kamar, kami berdua seperti begitu larut dalam apapun yang sedang kami pikirkan.

Aku bersyukur atas sikap Jihoon yang tidak berusaha untuk membujuk atau menggoyahkan keinginanku untuk pindah. Mungkin saja ketika melihat kebulatan tekad dari ekspresiku, ia sudah tahu bahwa aku telah memikirkan segala sesuatunya sebelum mengambil langkah sebesar ini. Aku tahu bahwa berat bagi Jihoon untuk melihatku—yang bisa dikatakan adalah teman baiknya—pergi jauh meninggalkannya. Tetapi aku juga tahu bahwa Jihoon sangat paham kalau aku juga merasakan rasa berat itu. Bahkan di posisiku, perasaan berat itu, perasaan sakit itu, dan perasaan susah itu kurasakan berkali-kali lipat rasanya. Karena itu Jihoon memilih untuk mendengarkan rencanaku dengan tenang, meskipun gurat sedih juga tersirat di wajahnya yang biasanya begitu cuek.

Jihoon menghargai keputusanku karena ia juga menyadari bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan diriku sendiri, dan karena hal itu aku semakin menghargai dirinya dan juga keberadaannya. Saat ini yang kubutuhkan adalah teman yang suportif, bukan teman yang berusaha memaksaku untuk melihat dari perspektifnya dan membuatku semakin kebingungan di situasi yang sudah membuat kepalaku seakan mau pecah.

Saat ini, bagiku, lebih banyak alasan yang membuatku untuk pergi dibandingkan dengan yang membuatku untuk tetap bertahan di sini.

Setelah sekitar lima belas menit lamanya kami sama-sama saling menutup mulut rapat-rapat, Jihoon akhirnya berdehem. Suara dehemnya terdengar sedikit tercekat. "Jadi aku tidak akan bisa bertemu denganmu lagi di semester depan?"

Aku menghela napas panjang, berusaha untuk meringankan beban yang seakan menghimpit dadaku, yang membuatku merasakan sesak yang menyakitkan. "Kau bisa selalu menghubungiku kapanpun kau mau. Kita bisa melakukan video call dan lain sebagainya. Mungkin saja suatu saat nanti kau juga bisa mengunjungiku di tempatku yang baru?"

"Dan kita juga bisa bertemu setiap kali kau sedang liburan," Jihoon menambahi, memutuskan untuk ikut bekerja sama denganku dalam membangun suasana yang lebih ringan di antara kami.

Bunga Iris dan Takdirजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें