>> 18 | Misi 10

74 15 8
                                    

Semua terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikirkan oleh Martin, Elsa, Fla dan Greg bahwa mereka harus kehilangan salah satu teman karibnya. Terlebih Elsa. Ia sangat terpukul karena harus melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Ia tak percaya bahwa ia harus melihat orang yang ia cintai menembakkan peluru ke arah kepala. Ia tak percaya bahwa baru saja ia bersama Zayn berbincang di danau dan kini Zayn pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Kini tiba hari yang paling berat bagi mereka semua. Hari di mana Zayn akan dimakamkan. Hari di mana Elsa akan melihat sosok Zayn untuk yang terakhir kalinya.

Dengan pakaian serba hitam, Martin mendorong kursi roda Greg sedangkan Fla merangkul Elsa. Greg bersikeras untuk turut menghadiri pemakaman Zayn walaupun ia belum lama menjalani operasi. Greg turut terpukul saat mengetahui Zayn telah tiada. Ia merasa bersalah karena belum sempat meminta maaf secara langsung kepada Zayn. Ia sangat merasa bersalah.

Kini keempat teman Zayn telah berada di pemakaman. Semua kerabat, teman, keluarga, serta orang tua Zayn telah mengerubungi liang lahat tempat Zayn akan dimakamkan. Tangis pun pecah ketika jenazah Zayn hendak dikuburkan. Elsa merasa tidak kuat. Ia merasa sangat lemas sehingga ia memilih untuk berjongkok sambil melihat orang yang ia cintai ditimbun dengan tanah.

Melihat Elsa seperti itu, Safaa, adik Zayn, berlari memeluk Elsa. Tangis keduanya benar-benar memperlihatkan kesedihan. Fla berusaha menenangkan keduanya walaupun ia sendiri merasa sangat berduka.

Prosesi pemakaman berakhir. Banyak orang yang telah meninggalkan makam kecuali orang tua Zayn, sepupu Zayn, Safaa, serta keempat teman dekat Zayn.

"Elsa, apa kau mau ikut pulang dengan kami?" tanya ayah Zayn. Elsa menggeleng. Ia masih saja memandangi batu nisan Zayn.

"Kami pulang lebih dulu, ya. Langit telah mendung," ucap ayah Zayn. Elsa hanya mengangguk.

Kedua orang tua Zayn, Safaa, serta sepupu Zayn berjalan menjauh.

"Aku ingin bicara," ucap Martin memecah kesunyian.

"Sejujurnya ada misi terakhir yang muncul. Waktunya hanya tersisa tiga jam," jelas Martin.

"Masa bodoh dengan misi itu, Martin! Kau lihat ini siapa?" tanya Elsa sembari melihat ke arah batu nisan Zayn.

"Kau ingin aku bermain lagi, huh?" Elsa mendorong Martin.

"Bukan seperti itu, Elsa. Dengarkan aku." Martin berusaha tetap tenang.

"Ini terakhir, Elsa. Misi ini meminta kita datang ke suatu alamat," jelas Martin.

"Lalu apa? Katanya akan selesai! Mana? Mana yang selesai? Dia telah terenggut nyawanya dan misi ini belum selesai?" Elsa kehilangan kesabarannya. Emosinya memuncak. Tangisnya semakin menjadi. Ia teringat misi yang diceritakan oleh Martin tadi malam. Zayn bunuh diri karena permainan itu menjanjikan kebebasan untuk mereka semua. Namun Elsa kini tak melihat kebebasan itu. Permainan belum berakhir. Permainan masih saja berlanjut.

"Mungkin ini benar-benar yang terakhir," ucap Martin.

"Jadi, kita akan pergi? Kau tidak bisa berpikir ya, Martin?" ucap Elsa tak percaya terhadap keputusan temannya.

"Kondisiku seperti ini aku tidak bisa ikut." Greg melihat kakinya yang masih sakit.

"Tidak apa-apa. Biar aku dan Martin. Kami yakin setelah ini akan selesai," tutur Fla. Elsa yang kesal terhadap perkataan teman-temannya memilih untuk pergi ke mobil.

Ketiga temannya menyusul namun Elsa masih saja diam. Mereka semua masuk ke dalam mobil lalu mengantar Greg kembali ke rumah sakit. Kini tersisa tiga orang. Martin, Elsa dan Fla.

Solve or Die (z.m) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang