01. Kasus

7.6K 263 21
                                    

Teriakan histeris memenuhi ruang toilet putri. Di antara mereka ada yang menyiram, memukul, menarik, bahkan menendang. Sedangkan seorang cowok yang menjadi objek sasaran emosi berusaha melepaskan diri.

Seorang siswi keluar dari bilik toilet sambil mengancing roknya terburu-buru. “Kenapa-kenapa?!” serunya karena tadi mendengar suara bising.

“Ada anak cowok tadi masuk,” jawab salah satu siswi, dadanya naik turun, napasnya memburu.

“Hah?! Gue diintip, Ra?” Mata gadis itu membeliak, mulutnya sedikit terbuka. Kalau benar ia sempat diintip, maka dapat dipastikan cowok sialan itu akan masuk ke tempat yang sepantasnya.

“Nggak, nggak sempat,” jawab siswi yang di dada kirinya memakai name tag Kyara Veronica. "Tadi waktu dia baru masuk, udah ketangkap duluan."

Kedua tangan gadis itu berada di pinggang. “Siapa namanya?”

“Juan.”

Gadis dengan rambut seleher itu berjalan cepat ke luar toilet. Matanya menatap tajam lurus ke depan, ia menggulung seragam putihnya yang berlengan pendek. Namun, spontan kakinya berhenti saat berada di persimpangan koridor. Gadis itu tidak tahu harus berjalan ke arah mana.

“Dio, tau siswa yang namanya Juan, nggak?” tanyanya pada seorang siswa yang berjalan lewat.

“Juan?” Bola mata siswa yang dipanggil Dio itu berpindah ke kiri dan kanan, telunjuknya berada di dagu. “Juan kelas XI IPA 1,” lanjutnya dengan nada gemulai.

Tanpa sekadar berterima kasih karena sudah diberi tahu, gadis itu sudah melangkah pergi, tetapi sebelum itu tangannya ditarik. “Gea, kenapa nyari Juan?” tanya Dio penuh kelembutan. Jika dibandingkan Gea, jelas cara bicara Dio lebih lembut.

“Dia masuk ke toilet cewek!” jawab Gea nyaring sambil melepas tangan Dio dari lengannya. Gadis itu semakin emosi karena pertanyaan Dio yang mengingatkannya pada tinggah tidak senonoh siswa bernama Juan itu.

Geavita Triplita Kurniawan, gadis itu berjalan cepat menuju kelas XI IPA 1, napasnya memburu, tangannya dikepal seolah memeras jeruk.

Pintu kelas tertutup saat Gea sampai di depan kelas cowok bernama Juan yang diduga masuk ke toilet putri. Gadis itu tanpa ragu membuka pintu dan mendorongnya keras, menimbulkan suara berisik yang membuat semua murid di dalam kelas XI IPA 1 menoleh serempak ke arahnya.

“Siapa yang namanya Juan?!” sentaknya tanpa rasa takut. Tangan Gea berada di pinggang, dagunya sedikit naik. Ekspresinya benar-benar menunjukkan bahwa ada hal yang sudah membuatnya marah dan itu berhubungan dengan pemilik nama yang ia sebutkan.

Tidak ada jawaban, semua murid hanya menatapnya sinis, mungkin merasa terganggu. Ada pula yang kembali membaca buku. Tidak heran, mereka kelas XI IPA 1 yang dikenal sebagai kelas unggulan. Kalau di mata Gea, sih, mereka semua adalah orang-orang membosankan.

Merasa tidak dipedulikan, Gea menarik napas panjang dan membuangnya kasar. “Gue tanya, yang namanya Juan siapa?!” tanyanya dengan suara lebih nyaring dan lantang daripada sebelumnya. “Jangan cuma berani ngintip ke toilet cewek aja dong! Giliran gini ciut, cuih.” Mata gadis itu menelanjangi seisi ruangan, seolah mencari wajah yang cocok dengan nama Juan.

Setelah kalimat terakhir Gea keluar, tidak ada lagi murid yang bergeming. Serempak mereka menatap pada satu arah, pada cowok berkulit sawo matang yang duduk di bangku kiri paling depan.

Sadar akan hal itu, Gea melangkah mendekati cowok yang ia duga kuat bernama Juan. “Lo cowok otak mesum itu?!” sentak Gea tanpa rasa takut.

“Kenapa name tag-nya nggak dipake? Takut?” timpalnya lagi saat melirik pada seragam bagian dada cowok itu kosong, tidak ada nama pengenal.

Juan menutup buku yang sejak tadi ia baca. Cowok itu menarik napas panjang sebelum menatap Gea terpaksa. “Lo siapa?” tanyanya, “Kalau nge-fans sama gue nggak gini caranya. Gue dengan senang hati kasih lo nomor telepon gue kok.”

Gea berdecak dan memasang wajah jijik. Tanpa memedulikan ucapan Juan, ia menarik lengan cowok itu. “Ikut gue ke ruang BK!”

Dengan kasar Juan melepas tangan gadis yang tidak ia kenal itu dari lengannya. “Lo siapa, sih? Cewek aneh!” ucapnya ketus sambil menepis beberapa kali lengannya yang tadi sempat dipegang Gea.

“Lo yang aneh masuk ke toilet cewek. Cowo mesum lo!”

Entah Gea dan Juan sadar atau tidak, semua mata yang ada di ruangan itu memperhatikan mereka. Menunggu kelanjutan kisah yang mereka saksikan secara langsung. Kini buku di meja tidak lagi lebih menarik daripada ocehan gadis berkulit putih di depan kelas. Selain murid di kelas XI IPA 1, di depan pintu pun sudah banyak murid yang hendak lewat, tetapi mampir karena kebisingan yang Gea buat.

Gea menarik lengan Juan paksa. Tidak ingin memberontak, Juan akhirnya ikut saja dan membiarkan hal yang ia anggap kesalahpahaman ini diurus di ruang BK.

“Minggir-minggir!” usir Gea pada murid yang memenuhi pintu.

Saat melewati koridor menuju ruang BK, semua murid yang menyadari aksi Gea yang menarik Juan menatap heran. Sosok Juan yang mereka kenal sebagai siswa bertingkah laku paling nyeleneh di kelas XI IPA 1, kini bersama dengan Gea. Keduanya adalah murid perwakilan paling berisik dari kelas masing-masing.

Siapa, sih, yang tidak tahu Gea? Cewek yang tanpa malu bergerak heboh saat kegiatan senam. Saat siswi-siswi yang lain akan meminimalkan gerakan mereka, berbeda dengan Gea yang malah melebih-lebihkan. Dan yang paling membekas di ingatan para teman seangkatan dan kakak kelas tentang gadis itu adalah saat MOS. Di mana Gea terlambat dan dihukum. Ia disuruh menyatakan cinta pada siswa paling famous di sekolah itu. Namun, tahu apa yang gadis itu katakan saat mengetahui hukuman yang ia dapat?

"Hah, serius?! Kakak yang itu? Tanpa disuruh, mah, gue juga bakalan nembak dia dengan sukarela." Setelah mengatakan hal yang membuat OSIS terbengong-bengong, Gea meraih bunga kertas yang ada di sudut kelas, lalu berlari riang mencari si kakak kelas. Dan, bayangkan sendiri kelanjutannya, di mana sebuah hukuman malah membuat seorang Gea bahagia.

Saat sampai di depan ruang BK, gadis itu mengetuk pintu menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan sebelah kanan masih memegangi lengan Juan. Tanpa aba-aba dari dalam, Gea langsung membuka pintu dan menarik Juan masuk.

Assalamualaikum, Pak,” salam Gea. “Saya melaporkan dia.” Telunjuk Gea diarahkan tepat di depan wajah Juan, membuat cowok itu memelototinya.

“Karena sudah masuk ke dalam toilet cewek dengan niat buruk,” imbuhnya.

Guru BK, Pak Mulyadi, menatap Juan. Matanya melebar meminta penjelasan. Beliau berdiri mendekati Juan, tangannya berada di pinggang.

Juan menarik napas panjang dan berat. “Pak, ini salah paham,” jelas cowok jangkung itu akhirnya.

“Dia .....” Kali ini Juan yang menunjuk tepat gadis di sebelahnya. “Asal nuduh,” lanjut Juan.

“Betul itu, Gea?” tanya guru BK yang biasanya akrab disapa Pak Mul itu.

“Banyak, Pak, saksinya. Di toilet tadi ramai ada Ara, Ivana, Arin, dan banyak lagi, Pak,” jelas Gea menggebu menyebutkan beberapa nama yang tadi melihat Juan di toilet. "Kalau saya sampai diintip sama mata jelalatan ini ni, bisa hilang harga diri saya sebagai perempuan!" Gea menunjuk-nunjuk mata Juan saking kesalnya. Bahkan kalau tidak ingat dosa, ia akan mencungkil biji mata yang hampir digunakan untuk niat buruk itu.

“Betul itu, Juan?” Pak Mul melempar pertanyaannya dengan suara tegas. Matanya memelotot, seolah dengan begitu sosok yang ada di hadapannya takut.

Juan menelan saliva menatap Pak Mul yang wajahnya hanya berjarak beberapa centi darinya. “Nggak, Pak. Saya sejak tadi di kelas, bisa ditanya murid kelas XI IPA 1.”

“Bohong, Pak,” sanggah Gea, “bisa ditanya Ara, Ivana, dan Arin mereka saksinya.”

Pak Mul mendecak dan geleng-geleng. “Kamu ini ya, Juan. Mau jadi apa kamu ngintip-ngintip begitu!” Pak Mul berbalik menuju mejanya. Ia membuka laci dan mengambil buku bersampul hitam. “Tulis nama kamu di sini, kasih keterangan mengintip toilet putri.” Pak Mul melempar buku tersebut ke mejanya.

“Pak, saya nggak ada ngintip!” tegas Juan. Cowok itu berjalan mendekati meja Pak Mul. “Bapak bisa tanya murid kelas XI IPA 1, saya sejak tadi kelas. Lagian ngapain, Pak, saya ngintip-ngintip?"

"Lah, kenapa kamu tanya saya? Kan kamu yang ngintip," ujar Pak Mul.

"Tapi saya nggak ngintip, Pak. Saya nggak minat liat gitu-gitu. Saya ini normal, Pak."

"Justru laki-laki normal itu yang pengin liat gitu-gitu," balas Pak Mul lagi.

Juan mengacak rambutnya. "Nggak, Pak. Saya anak baik, dididik ibu saya baik-baik. Saya nggak akan kayak gitu. Saya sangat menghargai perempuan, Pak." Tidak terima begitu saja, Juan masih kukuh dengan pendiriannya. Enak saja dia dituduh-tuduh melakukan hal tidak terpuji seperti itu.

“Baik, kita tanya siswi yang lihat kamu di toilet,” putus Pak Mul.

Juan memicing sesaat, menahan emosinya yang sebentar lagi keluar. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, lalu menatap gadis di sebelahnya yang tersenyum penuh kemenangan.

“Panggil saksi di toilet,” perintah Pak Mul pada Gea. Tanpa menjawab, Gea langsung melenggang pergi.

Tidak butuh waktu lama, Gea kembali datang diikuti ketiga temannya. Mereka menatap Juan, kemudian saling lirik seolah kebingungan. Ketiganya tidak ada yang mulai bicara, yang ada hanya bisik-bisik dari telinga ke telinga lain dengan ekspresi tidak meyakinkan.

“Hei, kalian bertiga! Malah tatap-tatapan,” protes Pak Mul. “Benar tidak Juan masuk toilet putri tadi?”

Ara menggaruk dahinya yang tidak gatal sambil melirik kedua temannya. “I-iya, Pak, namanya Juan,” jawabnya ragu lalu kembali menatap Arin dan Ivana.

“Jangan namanya, lihat muka gue!” kata Juan menunjuk sendiri wajah tampannya itu. “Muka kayak gini emang muka tukang ngintip?” Juan berdecak.

“Ya … pokoknya namanya Juan, Pak. Saya lihat name tag-nya,” jelas Ara ragu.

“Lo baca Juan Orlando, nggak?” sanggah Juan lagi penuh penekanan.

“Baik Juan, tulis nama kamu di sini.” Pak Mul mendorong buku hitam itu dengan telunjuk ke ujung meja agar lebih dekat dengan Juan.

“Setelah itu, kamu bersihkan lapangan basket sampai mengilap. Setiap hari selama seminggu.”

“Pak, saya nggak masuk ke toilet putri,” jelas Juan frustrasi. Ia mengacak rambut hitamnya yang sudah acak-acakan.

“Saya mau makan siang. Silakan kalian keluar,” perintah Pak Mul dengan nada lembut tapi penuh wibawa.

Gea mengangkat bahu sambil menipiskan bibir. Ia menatap Ara, lalu menggandengnya keluar tanpa menoleh pada cowok yang sudah ia laporkan sebagai ‘cowok yang masuk toilet putri’ itu.

Ia menang. Kini Juan dihukum.

Ya ... kebenaran memang harus ditegakkan, bukan?

***

AN:
Mungkin ada yang lagi baca dan bingung kok tiba-tiba babnya sisa segini. Sebenarnya udah aku infokan sih, tapi siapa tau aja ada yang belum baca.
Jadi, untuk hal yang insyaAllah lebih baik, cerita ini sedikit ada perubahan. Tokohnya tetap Juan dan Gea, tapi akan ada tambahan.
Semoga kalian tetap suka. Dukung terus Gesrek Couple dengan memberikan vote dan komentar kalian.

Terima kasih.


💜

Gesrek CoupleWhere stories live. Discover now