06. Cewek Tengil

2.1K 152 6
                                    

Gea meletakkan jaket dan handuk yang tadi dibawanya dari rumah ke atas meja, ia menggunakannya sebagai tumpuan untuk tidur. Pagi yang cerah, tetapi tidak secerah wajah Gea. Wajahnya kusut, dirinya tidak seceria biasanya.

Ara menyenggol Dio yang sedang  sibuk mencatat rangkuman pelajaran kemarin, cowok itu menghentikan sejenak aktivitasnya dan menoleh ke arah sahabatnya meminta penjelasan.

"Itu, si Gea kenapa, sih, pagi-pagi udah lemes kayak gitu?" tanya Ara sambil menunjuk sosok Gea yang sekarang melamun.

"Kok malah tanya gue, sih? Tanya orangnya sana." Dio kembali bergulat dengan buku dan pulpen di tangannya. Tidak peduli dengan Ara yang mendelik tajam.

"Untung temen," geram Ara. Dalam sekali tarikan, tubuh Dio terhuyung mengikuti Ara. Hampir saja cowok itu terjatuh .

Jangan tanya bagaimana sikap Dio saat diseret seperti itu, yang jelas suaranya sudah membahana memenuhi kelas.

"Ra, lepas, ih," ucap Dio sambil berusaha melepaskan cengkeraman Ara pada tangannya.

Ternyata, menyeret Dio yang tubuhnya bagai wanita itu membutuhkan perjuangan juga. Keduanya sampai di depan Gea yang masih saja sibuk berkelana bersama imajinasinya.

"Gea," panggil Ara. Cekalan di tangan Dio sudah ia lepaskan. "Gea." Tetap, gadis yang Ara panggil tidak merespons sedikit pun.

Gea malah menenggelamkan kepalanya dan mencoba menghirup sisa-sisa aroma yang tertinggal di jaket ataupun handuk yang kini berada di tangannya. Entah sejak kapan aroma itu berubah menjadi menenangkan, lamunan gadis itu semakin dalam.

"Gea!"

Gadis itu terperanjat saat seseorang meneriakkan namanya tepat di telinga. Ia mendengkus, memerotes oknum yang melakukan tindakan yang tidak terpuji itu. Tangan Gea mengelus-elus telinga kanannya, berusaha menghilangkan efek mendengung dari teriakan tadi.

"Kenapa, sih?!" Gea melayangkan tatapan tajam bak pembunuh yang tengah mengincar mangsa. Serius, ia sedang tidak ingin diganggu dengan dua sahabatnya itu.

"Weh, malah nyolot," kata Ara berusaha kalem. "Salah sendiri dipanggil dari tadi nggak nyahut. Lo kenapa, sih?"

"Gea kenapa pagi-pagi udah kusut kayak jemuran belum disetrika gitu?" tanya Dio dengan ciri khas melambainya.

“Gue lagi males diganggu kalian. Sana-sana balik ke kursi masing-masing.” Gea menggerak-gerakkan tangannya tanda mengusir. “Hus-hus!”

“Lah, terus maunya diganggu sama siapa kalau bukan kita berdua?” tanya Ara gemas.

Dio memicing curiga. Seulas senyum di bibirnya membuat Gea mengembuskan napas berat. “Pengin diganggu Juan, ya?” Satu cubitan mendarat di lengan atas Gea. “Ayo, ngaku! Jangan-jangan lo kangen karena udah nggak dihukum bareng lagi.” Kembali satu cubitan mendarat di lengan gadis itu.

"Duh, kalian ngomong apa, sih? Ini masih pagi, jangan bikin orang pusing, deh." Gea menepis tangan Dio yang terus saja mencubitinya. “Dio, apaan, sih, sakit tau!”

"Udah, deh, Ra. Orang kalau kangen emang sensi bawaannya. Ayo, kita balik," ajak Dio, tangan cowok itu menggandeng Ara menuju tempat duduk kembali. Tidak lupa ia melambaikan tangan cantik ke arah Gea.

Kini, tinggal Gea dan pikirannya yang bergejolak. Hari ini hukuman Juan telah usai, ia juga seharusnya senang karena tidak lagi harus membantu cowok itu bersih-bersih. Namun, kenapa sejak semalam pikiran Gea rasanya tidak enak? Tiba-tiba saja ada yang kurang. Dan pagi ini ia tidak semangat sama sekali.

Apa itu dapat Gea sebut sebagai rasa senang atau malah sebaliknya? Ketika ucapan Dio tadi kembali terngiang di kepalanya, Gea buru-buru menggeleng. Tidak mungkin ia rindu dengan cowok omes itu.


*****


Tidak biasanya cowok itu berdiam diri. Jeidan sudah mengamatinya selama tiga puluh tujuh menit empat detik dan tidak ada perubahan apa pun. Jujur saja ia agak terganggu dengan wajah Juan yang suram. Satu kelas jadi hening seperti ini kalau si pembuat onar sedang tidak bertugas membuat kegaduhan. Tidak asyik. Padahal ‘kan Jeidan suka keributan.

"Lo kenapa murung gitu?"

Juan melirik Jeidan di sampingnya. "Nggak pa-pa," jawabnya singkat.

Jeidan diam sejenak untuk menganalisis gangguan kejiwaan apa yang menyerang pikiran Juan. Padahal, hari ini harusnya Juan senang karena hukumannya telah selesai, tetapi kenapa malah kebalikannya. Seingatnya, terakhir kali Juan seperti ini hampir tiga tahun lalu. Ah, saat itu, sih, lebih parah daripada ini.

“Lo lagi mikirin nasib lapangan basket yang kotor, ya? Tenang. Ada yang bersihin kok.”

“Diam lo!”

"Kalau kangen datengin sana," seru Jeidan membuat Juan tersentak kaget, seperti baru disadarkan akan sesuatu.

Siapa yang dimaksud Jeidan? Perkataan itu malah terdengar ambigu di telinga Juan.

Juan berdeham dan menetralkan raut wajahnya. "Jangan fitnah lo," ujar Juan, "kata Pak Ustaz, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan baru aja lo udah melakukan dosa yang lebih berat daripada ngilangin nyawa manusia."

"Kurang asem lo, gue cuma ngomong! Dan lo apaan main ngehakimin gue berdosa. Kita ini sama-sama pendosa," protes Jeidan dengan wajah ditekuk. Ya, manusia memang tempatnya salah. Dan manusia bukan makhluk yang berhak mengecap seseorang berdosa atau tidak.

"Ya sori." Juan mengusap tengkuknya. “Gue nggak maksud gitu.”

“Lo kenapa, sih, hah?”

“Gue oke. Lo yang kenapa?” Juan bertanya balik. Tidak merasa ada yang berbeda dengan dirinya hari ini. Ya ... walaupun sudah beberapa kali ia kaget karena baru sadar pikirannya kosong.

“Lo yang diam terus. Lo yang melamun, kenapa jadi lo nanya gue kenapa?” Jeidan kadang berpikir Juan terlalu keras belajar sampai-sampai pikirannya jadi terganggu. Seperti sekarang, sahabatnya itu melamun sendirian tetapi tidak sadar. Orang gila ‘kan seperti itu, tidak sadar kalau ia gila.

“Tau ah, pusing gue.”

“Cewek yang mana bikin lo galau? Masih yang lama atau yang baru?” tanya Jeidan memastikan. Selama berteman dengan Juan, hanya satu perempuan yang bisa buat sahabatnya itu hilang semangat. Mungkin, kalau tidak karena Diva—ibu Juan—Juan bisa saja mati karena tidak punya semangat hidup.

Ibunya setiap hari menasihati Juan, bahwa yang terjadi selalu ada alasannya. Entah itu demi hal baik atau buruk, orang yang ditinggalkan harus bisa menerima. Tidak ada yang berhak meminta orang lain tinggal, karena setiap manusia bebas memilih jalan yang menurutnya bisa membuat dirinya bahagia.

“Gue nggak galau,” jawab Juan singkat. Ia merasa pembahasan Jeidan semakin tidak menarik.

“Kenapa, sih, lo nggak kasih Caitlin kesempatan? Dia cantik, body oke. Yang suka dia banyak, tapi kita semua tau dia maunya sama lo.”

“Karena hati gue nggak pernah ada buat dia.” Juan kembali berkata demikian. Entah sudah berapa kali ia berkata serupa setiap Jeidan menyarankan itu lagi, itu lagi.

“Kenapa? Karena Diana? Dia udah ninggalin lo tanpa ngomong apa-apa. Lo harus coba buka hatilah,” nasihat Jeidan. “Lo nggak mungkin nunggu dia terus. Sampai kapan? Ngabarin aja dia kagak pernah.”

Juan hanya bisa diam mencerna ucapan Jeidan. Benar, semua ucapan Jeidan tidak ada yang salah. Hanya saja kalau yang berhubungan dengan Caitlin tadi, Juan tidak bisa. Bukan karena Caitlin tidak lebih cantik dari Diana, tetapi karena setiap melihat Caitlin yang Juan ingat malah mantannya. Mantan? Juan sendiri tidak yakin apa statusnya dengan gadis itu saat ini.

Apa kabar, ya, dia?

Obrolan keduanya harus terhenti karena seorang guru masuk. Pelajaran di kelas unggulan itu segera dimulai. Kelas yang sudah hening semakin hening seketika.

Juan membenarkan posisi duduknya. Melupakan sejenak masalah hati, dan kembali ke hal yang lebih penting untuk saat ini, yaitu belajar.

Gesrek CoupleWhere stories live. Discover now