12. Dekat

1.4K 110 16
                                    

Sebuah motor matic yang dikendarai oleh pria paruh baya berhenti tepat di depan sebuah toko yang memiliki plang besar di atas pintunya dan bertuliskan ‘Diva Bakery’. Pria yang memakai atribut serba hijau itu tersenyum ramah ketika penumpangnya turun dan memberikan uang satu lembar senilai sepuluh ribu rupiah. Ia hendak mencari angsulan saat gadis dengan rambut hitam seleher itu menggerakkan tangan ke arahnya.

“Kembaliannya ambil aja, Pak,” ucapnya pelan dan lembut, berusaha agar si tukang ojek onIine itu tidak tersinggung dengan maksud baiknya. Tidak lupa ia tersenyum tipis agar ketulusannya dapat diterima dengan baik oleh pria itu.

“Terima kasih, Mbak. Apa mau sekalian saya tungguin, Mbak?” tanyanya dengan suara berat dan agak serak.

“Nggak, Pak. Kalau milih-milih roti saya biasanya agak lama.” Ia tersenyum simpul, sesopan mungkin menolak tawaran itu.

“Kalau gitu saya duluan, Mbak,” pamit pria paruh baya itu. Setelah pamitnya disetujui dengan anggukan, perlahan motor itu melesat jauh.

Gea, ia berbalik badan dan menaiki beberapa anak tangga untuk masuk ke toko roti kesukaan mamanya itu. Seperti biasa, Gea datang karena perintah mamanya yang berdalih sedang malas, tetapi sangat ingin makan roti dari toko ini.

Toko yang interiornya menggunakan kayu ini tampak estetik dengan warna putih, serta beberapa garis cokelat tidak teratur di papannya. Diva Bakery menjual roti dengan merek dagang mereka sendiri, sehingga yang ada di toko ini sulit ditemukan di toko lainnya. Dan yang agak menyebalkan, toko ini belum memiliki cabang, sehingga Gea harus ke sini dan menempuh jarak setengah jam.

Toko roti sedang sepi saat Gea memilih-milih beberapa jenis roti yang biasa mamanya suka. Setelah memilih beberapa menit, akhirnya ia membawa ke kasir sepuluh roti dengan topping berbeda di sebuah baki.

Gea memencet lonceng di meja kasir karena di sana sedang kosong. Tidak butuh waktu lama, sampai akhirnya kasir yang ia tunggu datang dari balik daun pintu.

Mata gadis itu sontak membulat saat melihat siapa yang masuk dan berdiri ke area kasir. Ia semakin bertanya-tanya saat cowok itu kini men-scan setiap barcode di bungkus roti pilihannya.

“Nggak usah terpana gitu liatin gue,” ujar Juan sembari men-scan bungkus roti terakhir, ia bicara tanpa sedikit pun menoleh pada Gea.

“Kok ... lo di sini?”

“Menurut lo?”

Gea berdecak malas. Sudahlah, tidak ada untungnya juga ia penasaran dengan Juan si cowok mesum dan pengganggu itu. Gea mendengkus saat Juan menunjuk angka pada layar di hadapannya, nominal harga yang harus ia bayar.

Melihat Juan yang tidak usil seperti beberapa hari terakhir setiap bertemu dengannya, Gea jadi merasa aneh. Gadis itu memutar bola mata sebelum akhirnya mengambil debit card dari dompetnya.

“Kenapa itu bola mata muter-muter?” tanya Juan dan menerima debit card yang diberikan Gea.

“Liat lo diam aja, kok, gue rasanya malah emosi, ya?”

“Ck, pengen banget gue gangguin? Nggak bisa di sini, entar gue dimarahin. Besok aja di sekolah, jangan kangen dulu.”

“Dih.” Gea mengetikkan pin ke mesin EDC yang Juan arahkan padanya. Ia tidak banyak bicara, karena bertemu Juan di luar sekolah rasanya berbeda. Begitupun cowok itu. Sekarang Gea hanya dapat menyimpulkan bahwa Juan adalah pekerja part time di sini.

Gesrek CoupleWhere stories live. Discover now