21

5.4K 591 15
                                    

Suasana terasa canggung sejak perdebatan itu berakhir. Keduanya hanya saling diam dengan secangkir cokelat panas di hadapan masing-masing.

Taehyung tidak berani bersuara, begitupun Jimin yang tidak tau harus memulai pembicaraan dari mana. Jimin hanya selalu memikirkan, 'apa tadi dirinya tidak terlalu kasar pada Taehyung?'

Karena sekali lagi, Jimin akan selalu menyesal ketika berbicara dengan suara keras pada adiknya.

Jimin hanya merasa bersalah. Merasa bersalah karena tidak datang ke rumah orang tua angkat Taehyung, merasa bersalah karena membuat ayah mereka pergi, merasa bersalah karena telah gagal menjadi kakak, dan masih banyak lagi.

Apa Jimin harus menyebutkan semua?

Karena itu setiap kali harus berbicara pada Taehyung, bahkan menatapnya saja, tenggorokannya terasa seperti tercekat.

Taehyung menaikkan pandangannya. Pada Jimin yang merenung tanpa meminum cokelatnya sedikitpun sejak tadi, disaat miliknya sudah habis setengahnya.

Merasa belum ada topik yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, Taehyung memilih melempar pandangannya mengamati rumah sederhana milik Jimin. Sama seperti rumah kebanyakan, namun tidak begitu terawat. Tanpa harus bertanya, Taehyung cukup tau alasannya.

"Taehyung-ah." Taehyung segera menengok begitu Jimin memanggilnya. Meski begitu, kecanggungan itu masih terasa kental di antara keduanya.

"Ini sudah malam..." Atau mungkin hampir pagi. Jimin tidak tau. Intinya dia hanya tidak ingin Taehyung hanya memiliki sedikit waktu tidur seperti dirinya.

"Kalau kau pulang kerumahmu mungkin pintunya sudah terkunci." Jimin menjeda. Memikirkan lagi tentang tawarannya. Mengabaikan tentang Taehyung yang mungkin marah karena perkataannya tadi. "Malam ini tidur di sini bagaimana?"

Taehyung terkesiap. Merenung sejenak. Berharap apa yang didengarnya bukan hasil dari khayalannya. Tapi tatapan Jimin yang lembut cukup menjadi bukti bahwa pendengarannya kali ini masih cukup baik.

"Bolehkah?" Mata bulatnya berbinar. Berbeda dengan yang ada dalam bayangan Jimin mengingat sejak tadi Taehyung terlihat begitu kaku.

Jimin mengangguk dengan senyum. "Jika semalam ku rasa tidak begitu masalah"

Bukan ini yang ingin Taehyung dengar. Tidakkah Jimin menawarkannya tidur di sini agar mereka bisa bersama sedikit lebih lama lagi? Tapi Taehyung tidak ingin merusak kebahagiaannya sendiri. Senyum kotaknya mengembang.

"Baiklah. Tapi aku tidak ingin tidur sekarang"

"Kenapa?" tanya Jimin.

"Karena aku belum mengantuk"

Jimin menghela. "Jangan nakal, Tae. Kau harus tidur"

Taehyung masih tidak berubah.

"Kenapa harus, Kak? Aku 'kan bukan anak kecil lagi." Taehyung mengerucutkan bibirnya.

"Anak kecil atau bukan, kau tidak bisa terjaga 24 jam. Kau harus tidur setidaknya beberapa waktu saja" Jimin menjeda. "Aku sudah biasa, tidak usah menyamakan diri denganku." lanjutnya begitu melihat Taehyung akan membantah.

"Baiklah"

Dan pada akhirnya Taehyung menurut meski dibarengi cebikan. Sama seperti yang sudah-sudah.

***

Pagi harinya, ketika Taehyung bangun dengan sedikit rasa pening karena hanya memiliki jam tidur yang sangat singkat, dia mendapati rumah dalam keadaan sepi dan menemukan roti dan susu yang sudah tersedia di atas meja.

'Aku harus keluar sebentar. Habiskan sarapanmu dan segeralah pulang. Aku tidak mau orang tuamu khawatir'

Taehyung menyimpan kembali note kecil yang ia dapat di bawah gelas susunya, kemudian menghabiskan sarapannya sesuai perintah Jimin.

Taehyung menebak, Jimin sama sekali tidak tidur. Mengingat hanya berapa banyak waktu dari saat mereka mengobrol di ruang tamu, belum lagi Jimin yang membuat sarapan dan pergi entah kemana.

Jika mengingat yang semalam, Taehyung jadi sama sekali tidak bisa tenang. Meski dia menemukan Jimin tepat waktu, tapi tetap saja mimpi itu tidak bisa hilang dari pikirannya. Mimpi ketika Jimin menjatuhkan diri dari atas palang jembatan dan Taehyung tidak bisa menyelamatkannya.

Taehyung menggeleng keras.

Ini pasti efek beban pikirannya yang berat karena terlalu memikirkan Jimin. Jimin tidak akan mungkin melakukan kebodohan seperti itu. Jimin bukan seseorang yang lemah, Taehyung mengenal Jimin lebih dari siapapun.

Ponsel dalam sakunya bergetar panjang. Taehyung merogoh sakunya, melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ragu, Taehyung mengangkat panggilan. Lama hanya hening sebelum suara di seberang memulai.

"Taehyung-ah"

Ibunya. Bisakah Taehyung menyebut wanita itu sebagai ibunya? Tentu. Meski dia bukanlah wanita yang bertaruh nyawa demi kelahirannya, tapi dia sudah membesarkannya layaknya seorang ibu kandung. Taehyung bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mendengar ibunya berbicara dengan suara keras. Ibunya begitu menyayanginya, sampai-sampai Taehyung sempat tidak percaya bahwa mereka sebenarnya sama sekali tidak memiliki ikatan darah.

"Ada yang ingin ibu katakan padamu. Pulanglah, Nak"

***

Jimin mengusap foto ditangannya pelan. Sedikit mengingat kapan foto itu pernah diambil dan bagaimana kala itu semua terasa begitu menyenangkan. Saat di mana Jimin benar-benar merasa hidup.

Jimin tidak akan bilang dia tidak lagi memiliki segalanya sekarang. Karena nyatanya dia masih memiliki Taehyung. Tapi Jimin masih ingin bertemu ayah dan ibunya, apa itu salah?

Jimin merindukan mereka bersamaan. Merindukan sentuhan dan suara lembut ibunya, juga lelucon sang ayah yang terkadang tidak lucu. Andai saja dia bisa kembali pada masa itu, sebentar saja. Setidaknya untuk merasakan bagaimana itu hidup yang sebenarnya. Bukan dengan jiwa yang sudah mati seperti ini.

Disaat seperti ini, lagi-lagi hanya atap gedung yang bisa Jimin datangi untuk melepas beban pikirannya sejenak, sekaligus mengingat kapan terakhir kali ia pernah bahagia. Meski dengan mengingat itu semua membuat jiwanya seperti ditarik-ulur.

Jimin menatap lamat foto itu sekali lagi, sebelum memasukannya ke dalam dompet dan mengantonginya. Kembali mengamati pemandangan di hadapannya.

Matanya berkedip sayu. Kentara tidak tidur semalaman, atau sepertinya hanya beberapa jam saja selama beberapa hari terakhir. Jimin tidak bisa tidur. Bayangan ayah dan ibunya selalu mengusiknya begitu matanya terpejam. Dan itu membuatnya benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Membuatnya harus kembali berlagak seperti orang lain yang hidup dengan normal keesokan harinya meski nyatanya dia lebih terlihat seperti mayat hidup. Begitu yang sering Taemin bilang padanya.

Tapi untuk yang semalam Jimin bukan terbayang pada orang tuanya. Dia terjaga karena memandangi Taehyung yang sedang tidur sampai tidak sadar sinar matahari sudah menyilaukan pandangannya. Membayangkan masa pertumbuhan adiknya yang tidak bisa ia lihat hingga sampai sebesar itu. Bahkan sampai melebihi besar tubuhnya.

Membayangkan ketika Taehyung mendapat nilai bagus dan langsung diperlihatkan padanya begitu anak itu pulang. Lalu ketika ada yang membullynya disekolah dan mengadu padanya, memintanya untuk datang kesekolah untuk memberitahukan pada pihak sekolah. Bayangan saat Taehyung tidak bisa mengerjakan tugas dan meminta bantuannya. Dan ketika anak itu menyukai teman sekelasnya namun tidak berani mengungkapkan karena gadis itu sebenarnya adalah teman dekatnya.

Setidaknya, sekalipun hanya bayangan, Jimin ingin merasakan berada di dekat Taehyung selagi anak itu bertumbuh dewasa dan mencapai apa yang dia impikan.

To be continued...

✔ MOONCHILD | Park JiminWhere stories live. Discover now