▪ DELAPAN BELAS ▪

801 45 17
                                    

Rey mematikan mesin motor setelah ia memakirkannya. Cowok itu menyisir rambut sebentar, lalu berjalan menuju pintu rumah.

Rey masuk ke dalam rumah dan disambut hangat oleh Rachel.

"Udah pulang, Rey?" tanya Rachel tanpa mengubah pandangannya dari layar televisi.

"Udah, Ma," sahut Rey sekenanya sambil berlari menaiki anak tangga menuju kamar.

"Rey, tunggu." Ucapan Rachel menginterupsi langkah Rey untuk berhenti. Rey menoleh ke arah Rachel yang kini menatapnya. "Mama minta tolong."

"Minta tolong apa, Ma?"

"Tolong anterin cupcake ke rumahnya Ran, ya? Kebetulan Mama buat banyak," pinta Rachel kepada putranya itu.

Rey mengernyitkan dahi tidak suka. Jika biasanya Rey akan bersemangat, namun sekarang tidak. "Harus Rey, ya, Ma?"

Rachel mengangguk. "Terus siapa lagi, Sayang?" Wanita itu tertawa diakhir kalimatnya.

Rey memutar bola matanya malas. Sangat malas. Tetapi, agar Rey tidak dicap sebagai anak durhaka, ia mengiyakan permintaan Rachel.

Rey mengganti baju seragamnya dengan kaus hitam polos dan celana denim. Cowok itu memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu berjalan menuruni anak tangga.

"Ini." Rachel menyerahkan dua buah kotak makan yang berisi cupcake di dalamnya.

Rey menerima kotak itu dan segera pergi menuju rumah Ran. Ia tidak menaiki motor, melainkan berjalan kaki karena jarak antara rumahnya dan rumah Ran bisa terbilang cukup dekat.

Sebenarnya, Rey sangat terpaksa melakukan ini. Jika bukan karena Rachel yang meminta, Rey tidak akan mau mengantarkan cupcake ini kepada Ran.

Rey mendengus. Menyebalkan.

Sepanjang perjalanan Rey terus menggerutu dalam hati. Cowok itu memperlambat jalannya. Padahal tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di depan rumah Ran.

Rey mengeluarkan ponsel dari saku seraya berjalan menuju pagar rumah Ran yang besar dan bercat putih. Dengan malas ia mengetik sesuatu di layar ponselnya.

Rey: Ke luar.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu pesan itu dibaca oleh sang penerima pesan. Tidak ada balasan dan Rey memaklumi itu.

Butuh waktu lima menit untuk menunggu Ran membuka gerbang besar yang ada di hadapannya saat ini.

Seorang gadis cantik yang berpakaian casual akhirnya keluar dan tersenyum ramah kepada Rey. Sayang, Rey tidak membalas senyuman itu.

"Ada apa?" tanya Ran.

Tidak ada jawaban dari Rey. Cowok itu malah langsung menyodorkan dua buah kotak makan berwarna merah kepada Ran.

Senyum Ran mengembang, namun tak lama memudar akibat perkataan Rey. "Lo nggak usah kegeeran dulu. Ini bukan dari gue, tapi dari Mama. Kalau bukan Mama yang nyuruh, gue juga nggak mau nganter ini."

Ran menerima kotak makan itu seraya menunduk. Ia tidak mau matanya terlihat berkaca-kaca di depan Rey.

"Makasih," ucap Ran sambil berusaha tersenyum.

"Oh, ya. Satu lagi," ucap Rey yang membuat Ran menatap cowok itu dengan tatapan sendu. "Berhenti suka sama gue, karena itu percuma. Lo udah ngelakuin hal yang sia-sia." Rey berlalu pergi setelah mengatakan hal itu kepada Ran.

Rasanya seperti ada belati yang menggores dalam hati Ran. Menyakitkan, tidak bisa dijelaskan.

Bayangkan saja jika orang yang disuka mengatakan hal itu kepada kita. Seolah-olah mendorong kita untuk menjauh, atau pun sebaliknya. Dia yang menjauh.

Love for You Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum