▪ DUA PULUH LIMA ▪

1.1K 47 4
                                    

Matahari mengintip lewat gorden kamar cowok yang masih terlelap dengan pulas. Namun, mimpinya harus terganggu karena bunyi notifikasi ponsel yang terus masuk.

Rey mengucek matanya, lalu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ia menguap lebar seraya meregangkan ototnya. Cowok itu tertidur dari kemarin sore hingga sekarang, rekor baru untuk Rey.

Rey mengubah posisi menjadi duduk bersila. Ia mengambil ponsel di atas nakas, lalu mengeceknya satu-persatu. Rey membuka grup
yang berada diurutan paling atas pada room chat-nya.

Nakdel

Leon: Alan! Biasa.

Alan: OTW.

Rey: Gue belum mandi, woi!

Leon: OTW.

Rey: Bajigur -_-

"Dasar, gue baru bangun juga!" gerutu Rey kesal.

Seperti biasa, dua bocah itu berkunjung ke rumah Rey. Selalu rumah Rey yang mereka jadikan tempat kumpul dengan alasan banyak makanan yang tersedia.

Tak sampai sepuluh menit, derum motor Leon dan Alan sudah terdengar memasuki pekarangan rumah Rey. Sungguh ajaib.

"Halo, Babang Leon datang!" seru Leon ketika masuk ke dalam kamar Rey. Cowok itu langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur Rey yang empuk.

Rey bergidik ngeri, ia buru-buru turun dari kasurnya. "Buka sepatu, dodol!"

"Hehehe, sori." Leon menyengir lebar, cowok itu langsung melepas sepatunya dan turun dari kasur Rey.

"PS, yuk. Lanjut yang kemarin," ajak Leon kemudian.

"Gue mau baca komik aja," ucap Alan, lalu menghampiri rak buku milik Rey.

"Gue cari udara segar dulu," timpal Rey, lalu ke luar menuju balkon kamar.

Leon tidak mau ambil pusing. Cowok itu mengambil stik PS dan menyumpal telinganya dengan headset bervolume tinggi yang memblokir pendengaran. Tak butuh waktu lama, Leon telah hanyut dalam permainannya.

Sebenarnya, Alan sedang malas membaca buku. Cowok itu memilih untuk menghampiri Rey yang kini berada di balkon.

"Rey," panggil Alan.

Rey menoleh dan mengangkat sebelah alisnya.

"Lo sebenarnya kenapa, sih, sama Ran? Lo nggak perlu benci dia kalau nggak suka sama dia," ucap Alan langsung pada intinya.

Rey mendengus sebal. "Apaan, sih? Lagian, kalau dia nggak kasih surat sialan itu semua nggak bakal kayak gini!"

Alan mulai mengepalkan tangannya. "Lo aja yang egois, harusnya lo udah lupa sama masa lalu lo! Ran udah berjuang selama bertahun-tahun, tapi lo nggak pernah peka. Lo sibuk ngejar Tara yang bukan pacar lo lagi!"

"Jadi, di sini siapa yang bego?" lanjut Alan.

Satu kepalan tangan mendarat mulus di pipi Alan. "Salah gue di mana?! Gue emang nggak suka sama dia dan itu kenyataannya! Dia temen gue, rasa perhatiaan dia cuma gue anggap sebagai perhatian terhadap temen!"

Alan mendorong keras bahu Rey hingga cowok itu terhuyung ke belakang.

"Tapi nggak gini caranya. Setidaknya lo hargai perasaan dia, bukan malah dicaci maki, lo hina, lo manfaatin dia!"

"Tangan Ran retak gara-gara nurutin perintah gila lo dan lo nggak merasa bersalah? Dasar cowok brengsek!" Alan mendaratkan tinjuan di pipi Rey.

"Lo tanya apa salah lo? BANYAK!" Alan berseru kencang, kemudian kembali meninju Rey dengan keras.

Love for You Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu