▪ DUA PULUH EMPAT ▪

925 45 2
                                    

"Seharusnya aku hanya diam memendam, bukan mengungkapkan. Karena hatimu tertutup bagi siapa saja yang berniat masuk."
___

"Astaga, tangan lo kenapa?" tanya Ruby kepada Ran yang baru saja duduk di kursinya.

"Tangan lo patah atau gimana?" timpal Grace yang menatap Ran khawatir.

Ran tersenyum tipis pada Grace dan Ruby sebelum menjawab pertanyaan mereka. "Nggak apa-apa, kok. Cuma retak aja."

"Kok bisa?" Grace heran.

"Jatuh gara-gara jadi flyer kemarin," jelas Ran.

"Lagian ngapain nurutin Rey? Dia cuma mau ngerjain lo doang. Lagi pula, dia temen deket lo dari SMP. Harusnya dia tahu kalau lo nggak bisa cheers," gerutu Ruby. Mulutnya sudah gatal ingin mengeluarkan sumpah serapah untuk Rey.

"Bener, Ran. Lo kalau udah cinta nggak usah sampai bego banget. Itu sama aja nyiksa diri lo sendiri. Sekarang lihat, kan, perjuangan lo buat Rey selama ini sia-sia? Dia belum bisa move on dari Tara. Sekuat apa pun lo berjuang bakal percuma. Bahkan, Rey aja nggak menghargai perasaan lo." Grace kembali menimpali dengan nada yang dinaikkan satu oktaf.

"Biarin aja, gue juga udah terbiasa. Kalau udah lelah gue juga bakal nyerah. Tapi gue nggak tahu kapan," jawab Ran seraya tersenyum sendu.

"Kalau ada orang yang suka sama lo gimana?" tanya Ruby yang membuat Ran terdiam sejenak. Pertanyaan cewek itu membuat ingatan Ran terlempar pada kejadian lima tahun lalu. Tepat di mana seseorang menanyakan hal serupa.

Ran mengedikkan bahunya, tidak tahu ingin menjawab apa.

"Emang bener, ya, cinta sama bego itu beda tipis. Wujud nyatanya itu lo," ucap Grace, matanya tertuju pada perban yang melilit di pergelangan tangan Ran.

Ran hanya menanggapi itu dengan helaan napas panjang.

☁️☁️☁️

"Apa di antara kalian ada tahu kenapa dua hari ini Joni tidak masuk sekolah?" tanya Bu Nita selaku guru Fisika sekaligus wali kelas XII IPA-2.

Semua murid kompak menggeleng. Termasuk Alan yang memasang tampang tak berdosa.

"Emangnya kalian nggak dapat kabar dari Joni?" tanya Bu Nita kembali.

"Enggak, Bu!" semua menjawab, namun Alan-lah yang menjawab paling lantang.

Paling tuh bocah lagi terbaring dengan kondisi mengenaskan di rumah sakit, batin Alan.

"Joni lagi nyuci daster Emaknya, Bu!" celetuk Leon yang membuat semua orang di dalam kelas tertawa renyah. Kecuali Bu Nita yang memberi pelototan gratis pada Leon.

"Ibu lagi nggak bercanda!"

"Saya juga enggak, Bu," jawab Leon yang membuat guru gemuk itu geleng-geleng kepala.

"Ya sudah, kalian belum boleh ke luar sampai ada bunyi bel istirahat. Ibu pamit dulu," ucap Bu Nita, lalu melangkah keluar kelas.

"Lo tahu nggak Joni kenapa?" Rey menghadap belakang untuk berbicara pada dua sahabatnya.

"Kan, udah gue bilang dia lagi nyuci daster," jawab Leon.

Alan menoyor kepala Leon. "Bukan itu, pe'a!"

"Lo juga nggak tahu, Lan?" tanya Rey pada Alan.

Alan menggeleng seraya mengedikkan bahunya.

"Baguslah dia nggak masuk. Kelas jadi tentram dan nggak ada yang ngotot buat nyari ribut," ucap Rey, kemudian tersenyum senang.

Love for You Where stories live. Discover now