▪ EPILOG ▪

1.7K 48 9
                                    

"Kepergianmu adalah duka sebab begitu tergesa-gesa. Hingga aku tak sempat mempersiapkan hati untuk itu semua."

___

Suara pecahan kaca terdengar nyaring dari kamar Rey sejak beberapa saat lalu. Ia membanting seluruh benda yang ada di kamar. Mulai dari bingkai foto, rak buku, sampai ponselnya yang kini telah hancur dibagian layar. Cowok itu sangat frustrasi hingga kamarnya terlihat seperti kapal pecah.

"DASAR GOBLOK!!" Rey merutuki diri sendiri. Ia tetap menghancurkan apa pun yang ada di dekatnya.

Ada pecahan kaca di lantai yang Rey pijaki sehingga darah segar mengalir dari telapak kakinya. Terasa perih. Ditambah rasa sesak akibat menahan tangis yang tidak sanggup dibendung.

Ini adalah malam terakhir Rey berada di Indonesia, tapi ia masih tidak rela meninggalkan negara ini. Cowok itu sudah memberi tahu bahwa akan pergi ke Jerman untuk transplantasi jantung pada Leon dan Alan. Mereka sangat terkejut. Namun, hanya bisa berdoa serta memberi salam perpisahan untuk Rey.

Mungkin, kemarin lusa adalah malam terakhir Rey bisa bertemu dengan Ran. Ia tidak sanggup untuk memberi tahu tentang ini kepada Ran secara langsung. Rey hanya tidak ingin melihat gadis itu menangis lagi.

Cowok itu menatap pantulan dirinya di cermin yang terlihat sangat kacau. Kemudian, ia berkata, "Lo emang orang tertolol di dunia, Rey!"

"Lo nggak seharusnya masih terjebak dalam luka lama itu."

"... Selesaikan masalah kamu dan jangan malah menambah masalah. Papa takut kamu menyesal nanti."

"Tapi gue rela ngorbanin perasaan karena gue tahu Ran itu sukanya sama lo! Harusnya lo sadar, Rey!"

"... Kalau gini malah lo yang nggak profesional."

Semua kata-kata itu terus terngiang di telinga Rey, membuat kepala cowok itu berdenyut hebat dan emosinya meluap-luap.

Rey mengambil ponsel yang  hancur di lantai. Ia menggenggam erat benda pipih tersebut, lalu melemparnya dengan kencang ke arah cermin.

Prang!

Suara pecahan kaca itu kembali terdengar. Serpihan kaca mengenai Rey sehingga wajahnya kini dialiri darah segar. Perih kembali menjalar, membuat cowok itu meringis pelan.

Rey terduduk lemas di atas pecahan kaca dengan tatapan kosong. Air mata itu tercampur darah ketika jatuh bersamaan. Ia terisak dalam diam. Tangannya mengambil salah satu pecahan kaca dan menggenggamnya erat. Membiarkan darah mengalir dari telapak tangan seolah rasa sakit bisa tersalurkan jika melakukan ini.

"Reihan!" seru Rachel. Wanita itu berlari ke arah putranya. "Jangan kayak gini, Sayang. Ayo lepas kacanya," perintah Rachel.

Rey melepas kaca itu begitu saja, kemudian menghambur ke pelukan Rachel.

"Kamu kenapa, sih? Jangan nyakitin diri kamu sendiri. Kalau kayak gini kamu bisa kehabisan darah!" Emosi Rachel meluap. Ia tidak suka putranya berlaku seperti orang mesokis.

"Sakit, Ma," ucap Rey pelan, membuat Rachel tidak kuasa menahan tangis.

"Iya, mama tahu kamu berat buat pergi. Tapi ini juga demi kesehatan kamu sendiri. Kamu nggak mau, kan, bikin teman-teman kamu tambah sedih?" Rachel mengusap punggung Rey lembut. Memberi sedikit ketenangan untuk cowok itu.

"Bangun, Sayang," ucap Rachel. Rey berdiri dan duduk di pinggir kasur. Cowok itu kembali meringis perih akibat luka yang ada di tubuhnya.

"Mama yakin kamu bakal balik lagi ke sini. Kamu cukup berdoa aja sama Tuhan. Nanti lukamu biar Mama yang obatin." Rachel mencoba menguatkan Rey. Wanita cantik itu mengelus lembut rambut putranya.

Love for You Where stories live. Discover now