▪ DUA PULUH SATU ▪

864 44 18
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul enam petang. Sisa senja yang berwarna pucat terpampang jelas di udara. Semilir angin sore membuat bulu roma Ran meremang. Sudah hampir tidak ada orang di danau, mungkin hanya ada dua orang yang menikmati sisa senja di dermaga.

Ran bersandar di mobil aventador merahnya, sejenak melepas penat setelah acara pentas seni tadi siang. Tubuhnya terasa remuk akibat acara tadi. Tidak menjadi masalah, asalkan pentas seni tadi berjalan dengan lancar dan sesuai ekspetasi.

Ran berjalan ke arah danau, ia berdiri seraya menatap danau yang hening. Telinganya tersumpal earphone yang melantunkan lagu My Love dari band legendaris Westlife.

Ran larut dalam kesunyian, seperti hidupnya yang terbalut akan palsunya senyuman.

Cewek berambut pirang itu menghela napas panjang, berusaha menepis kenangan yang bergelayut sejak tadi dirinya tiba di tempat ini. Ia mungkin tidak akan bisa mengulangnya, hanya dengan mengingatnya ia sudah merasa cukup bahwa 'pernah' berbagi canda dengan lelaki itu.

Dua puluh delapan hari, sepuluh jam, delapan menit, tiga puluh empat detik sudah berlalu setelah Rey membangun benteng pembatas dengannya. Garis bawahi, hanya dengannya. Dunia terasa berputar dengan alasan yang cukup jelas, perasaan yang bertolak belakang.

Waktu hanya berjalan sia-sia tanpa Ran bisa menikmatinya. Tidak seharusnya Rey menjauh karena enggan menerima perasaannya. Setidaknya, cowok itu tahu bahwa ia sangat menyayanginya.

Derap langkah kaki seseorang membuat Ran mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah. Tidak ada yang ia temukan kecuali abang tukang nasi goreng yang berjualan di luar area danau.

Mata Ran membulat sempurna ketika ia menoleh ke arah kanan. Cowok yang sedari tadi menari-nari di pikiran ada di sampingnya. Oke ralat, lebih tepat berjarak satu meter darinya. Entah dari kapan Rey ada di sana.

Ran tercenung sesaat, lalu mencoba menetralisir degupan jantungnya yang menggila di dalam sana. Namun, ia berusaha terlihat biasa saja.

Menit-menit berlalu dalam keheningan yang tercipta. Sampai Ran berdeham untuk menetralisir heningnya suasana.

"Rey," panggilnya takut-takut.

Rey meliriknya dengan sinis seperti biasa.

"Tumben sore-sore ke sini," celetuk Ran. Ia merasa akan diabaikan karena ucapanya tadi. "Lagi gabut, ya?" lanjutnya seraya tertawa hambar.

Benar saja, Ran diabaikan. Rey malah mengalihkan pandangan ke arah lain sambil masih memasang wajah tanpa ekspresi. Baginya, itu pertanyaan tidak berguna yang tak perlu dijawab.

"Sori, gue nggak bermaksud ganggu lo, kok." Ran menyelipkan anak rambutnya, lalu menggembungkan pipi.

"Gue tau, lo jadi hilang feeling sama gue gara-gara surat itu. Tapi percaya, deh. Gue nggak ada maksud apa-apa." Ran melirik Rey yang masih menatap ke arah lain diakhir kalimatnya.

"Gue nggak masalah lo nggak suka sama gue. Hanya kita berteman baik aja itu udah cukup. Perasaan kita bertolak belakang dan nggak bisa dikekang. Mungkin, lo kaget dan aneh ketika tahu gue punya perasaan lebih sama lo. Padahal kita udah temenan lima tahun," kekeh Ran yang terdengar menyakitkan.

Rey acuh tak acuh mendengarnya. Ia memilih untuk menulikan telinga.

"Selama ini gue milih diam karena nggak ada gunanya gue bicara. Lo emang terbuka sama setiap orang. Tapi sayangnya, hati lo tertutup untuk siapapun yang berniat masuk semenjak lo putus sama Tara." Ran kembali menghela napasnya sebelum lanjut berbicara.

"Tap—" Ucapan Ran menggantung begitu saja di ujung lidah.

"Udah ngomongnya?" tanya Rey dengan nada yang tidak enak didengar. Sedari tadi cowok itu berusaha meredam amarah, tangannya mengepal kuat dengan rahang mengeras.

Love for You Where stories live. Discover now