▪ DUA PULUH ▪

868 46 11
                                    

"Kamu boleh memaksaku untuk pergi. Namun, satu hal yang perlu kamu ketahui. Jika tulang rusukmu ada padaku, kita akan bersatu. Dan semesta mengetahui hal itu."

____

"Jangan jadi Bambang, deh! Udah gue bilang lo tuh nggak cocok jadi drummer di acara pentas seni," ucap Alan seraya menoyor kepala Leon.

"Siapa juga yang mau jadi Bambang? Orang gue Leon!" Leon memukul lengan Alan sebelum lanjut berbicara. "Gue udah jelas pantes jadi drummer. Lo tuh yang sama sekali nggak cocok jadi gitaris!"

"Seenggaknya, kalo nggak jadi gitaris gue bisa jadi vokalis!"

Leon berdecih. "Apa lagi jadi vokalis. Yang ada bumi bergetar denger suara lo!"

"Songong lo, sempak!" cibir Alan. "Gini-gini skor karaoke gue 75, ya. Lo nggak lebih bagus dari gue!"

"Mesin karaokenya aja yang rusak. Suara Shawn Mendes aja kalah sama suara gue!" balas Leon tidak terima.

Sepanjang perjalanan menuju ke kantin Leon dan Alan masih terus berdebat tentang pentas seni, membuat Rey pusing mendengarnya.

"Bisa nggak usah ribut?!" sentak Rey, membuat perhatian Alan dan Leon tertuju pada cowok itu.

"NGGAK!" jawab Alan dan Leon bersamaan.

Rey memutar bola matanya malas, lalu mendengus. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Leon dan Alan dengan langkah panjangnya.

Sesampainya di kantin, Rey mengambil tempat duduk di pojok yang berdekatan dengan stand makanan bakso. Kepalanya terasa berdenyut sakit sekarang. Ia pusing memikirkan urusan pentas seni yang dipersiapkan oleh pengurus OSIS. Maka dari itu, Rey memilih rehat sejenak dan mengisi perutnya yang kosong sejak pagi.

Mungkin, ini adalah bulan terakhir Rey menjabat sebagai Ketua OSIS di sekolah. Ia akan resmi melepas jabatannya bulan depan. Sebab, Rey akan fokus dengan Ujian Nasional yang menentukan kelulusannya nanti.

"Udah, ah. Capek gue debat sama lo!" seru Alan ketika sudah berada di tempat Rey sekarang.

"Emang lo doang? Gue juga capek, kambing!" balas Leon lalu mendaratkan bokongnya ke atas kursi dengan kasar.

"Sekali lagi kalian ribut, band dari ekskul musik dicoret dari daftar penampilan pentas seni!" desis Rey seraya menatap tajam keduanya. Membuat Alan dan Leon bergidik ngeri

Mati sudah.

☁☁☁

Bel masuk akan berbunyi kurang dari sepuluh menit lagi. Sebab, di SMA Pelita Bangsa istirahat hanya berjalan selama dua puluh menit. Bahkan terkadang hanya lima belas menit. Tidak jarang para siswa langsung berhamburan menuju kantin demi mengisi perut yang kosong jika mendengar bunyi bel istirahat.

Rey berjalan sendirian menuju lapangan basket indoor yang terdapat di lantai bawah. Cowok itu akan mengatur serta mengubah tempat tersebut menjadi panggung pentas seni yang akan diselenggarakan minggu depan.

Seharusnya pentas seni diadakan di aula sekolah, jadi ia tak perlu repot-repot membuat panggung untuk acara ini. Sayangnya, aula sekolah sedang direnovasi sehingga tidak bisa digunakan untuk sementara waktu.

Rey membuka pintu lapangan basket yang sedikit terbuka. Dari ambang pintu ia sudah melihat figur Hansel beserta kawan-kawan yang sedang berlatih bermain basket untuk pertandingan.

Club basket yang dipimpin oleh Hansel memang sudah tidak diragukan lagi kehebatannya. Bahkan, tahun depan rencananya pemain terbaik akan dikirim untuk mengikuti olimpiade basket internasional yang diselenggarakan di Chicago. Rey mengakui prestasi itu.

Love for You Where stories live. Discover now