EXTRA PART!

3.8K 156 8
                                    

Aku menangis tergugu di atas sebuah pusara. Memeluk batu nisan bertuluskan nama orang yang begitu aku kasihi. Orang yang begitu sabar dan begitu menyayangiku.

Aku merasa berdosa, merasa jahat dan selalu menyalahkan diriku sendiri.

Ini semua salahku!
Ini semua karenaku!
Akulah yang telah membunuhnya!
Akulah penyebab dia meninggal!
Aku benci diriku!
Aku muak dengan semua ini!

Andai aku tak punya tanggung jawab terhadap balita munggil yang sekarang di dekapanku, juga dengan wanita paruh baya yang sekarang sedang dalam masa perawatan di RS. Puri Prima Haraan, aku pasti akan menyusulmu ke dalam liang kubur itu.

Ya, Bapakku, Aryo Shaka Marwa, menghembuskan nafas terahirnya setelah 8 jam berjuang melewati masa kritisnya. Lalu keesokan harinya, saat bapak selesai dimakamkan, ibu yang benar-benar terpukul dan tidak rela akan kematian bapak pun, mengalami depresi berat.

Pernah beberapa kali ibu mencoba bunuh diri, sampai akhirnya keluarga Arinda menyarankan untuk membawa Ibu ke rumah sakit jiwa.

Hari ini, tepat dimana 1000 hari meninggalnya Bapak.

Aku merasa sendiri sekarang, hidup dalam belas kasihan keluarga Arinda. Mereka dengan rela dan ikhlas merawat Willma dan membiayai semua keperluan kami.

Proses perceraianpun sudah rampung dan ketuk palu. Arinda sudah resmi menjadi janda.

Aku tak menyangka, rumah tanggaku hanya bertahan 2 bulan dengannya.
Pernikahan yang baru saja kami jalani harus berakhir memilukan.

Andai aku dapat mengendalikan emosiku, pasti semua ini tidak akan terjadi.

Untunglah, keluarga Arinda masih mau membatuku, membantu keluargaku dengan ikhlas.

Tapi sejujurnya, kebaikan mereka begitu menyiksa batinku. Aku merasa tersiksa dengan segala kebaikan mereka. Aku merasa menjadi lelaki paling keji dan bejad di seluruh dunia.
Aku malu akan semua perbuatan yang telah aku lakukan, aku malu...

"a'a... puyang... Ima udah antuk" celoteh cadel Willma mengalihkan perhatianku

"Iya, ayo kita pulang. Sudah mau mendung juga"

"empat Apih, ya" serunya

Apih adalah panggilan Willma pada papi Arinda, aku pun masih memanggil mereka dengan papi, mami.
Sikap Arinda pun sudah sedikit melunak, dia sudah mau berbicara padaku, walaupun hanya seperlunya saja.

"Kita harus pulang. Besok a'a harus sekolah, Neng. Kita yang ke rumah papi besok aja ya" rayuku.

"tak auh. Sekalang!" serunya
"Tapi a'a capek, Neng." Detik berikutnya aku melihat raut wajah kesedihan dimata adikku, sorot mata akan rasa kecewa dan juga kerinduan.

Memang semenjak Ibu di bawa ke rumah sakit jiwa, mami mengirimkan seorang pengasuh untuk Willma. Sekolahku pun, papi Indra yang membiayai. Semua aset bapak, papi Indra yang mengelola. Dia membatu kami dengan iklas, tanpa mengharapkan imbalan apapun, memperhatikan Willma, menyayangi Willma seperti anak mereka sendiri.

"ya sudah... tapi sebentar saja ya, a'a harus belajar."
Willma mengangguk girang dan memeluk leherku erat.
***

Aku berjalan pelan keluar dari mobil grab yang ku tumpangi tadi, bertepatan dengan Arinda yang baru pulang sekolah. Dia terlihat makin cantik dan semakin membuatku menyesal telah melepaskannya. Rasa cintaku pun tak berubah sama sekali, dia masih pemilik hati ini.

"Teteh..." seru Willma dengan menggeliat meminta untuk diturunkan dari gendongan.

"Eh, Willma... cari mami, ya? Ayok masuk" ajak Arinda dan mengambil alih Willma dari gendonganku.

Janda MudaWhere stories live. Discover now