Bagian 2 : Igais Buwana Dewi

71.6K 1.9K 65
                                    

Kulangkahkan kaki dengan mantap di sepanjang koridor kampus menuju lift yang akan membawaku ke ruanganku di lantai tiga gedung utama ini. Sepanjang jalan beberapa mahasiswa dan dosen serta staf karyawan kampus ini menyapaku dan kubalas ramah.

Sebenarnya tidak ada kelas yang harus kuajar hari ini, tapi aku telah menjadwalkan konsultasi dan bimbingan skripsi kepada empat orang mahasiawa yang jadi anak bimbingku. Jadwal yang mengharuskanku meninggalkan suamiku tadi pagi dengan suasana hati yang tidak terlalu menyenangkan.

Ckk.. Bukan sepenuhnya salahku, kan?

Karena semalam di luar jadwal kepulangan rutinnya tiap akhir pekan. Jadwal konsultasi bimbingan skripsi yang kuletakkan di luar jadwal mengajar regulerku, sudah kusesuaikan dengan jadwal rutin kepulangannya. Jadi seharusnya tidak ada masalah.

Well... kecuali semalam, mungkin.

Tapi itu salahnya juga, tidak mengkonfirmasi dulu sebelumnya. Dia bukan manusia jaman purba, jadi ada apa dengan telepon sms, e-mail, messenger dan lain sebagainya yang selalu aktif di ponselnya. Bukannya bisa dia gunakan untuk memberi kabar kepulangannya yang mendadak.

Enak saja menyuruhku membatalkan janji dengan mahasiswaku.

Tapi tetap saja, ada rasa canggung yang ganjil meninggalkannya dalam situasi seperti itu. Ada yang terasa aneh dengan dadaku. Semacam sesak atau... kosong... ah entahlah...

Tapi buru-buru kutepis perasaan ganjil yang menyelimuti hatiku. Sementara harus ku kesampingkan masalah pribadiku, ada beberapa orang yang perlu segera kutangani.

Aku seorang dosen. Pekerjaan yang sangat kucintai, yang kuangan angankan sejak aku mulai menginjak tahun ketigaku di universitas. Posisi yang kudapatkan tidak dengan main-main. Kuperoleh dengan kerja keras,dedikasi dan... beberapa pengorbanan.

Di kampus ini aku memegang beberapa kelas di fakultas farmasi dan kedokteran umum untuk materi Farmakologi, Farmasetika beberapa mata kuliah pilihan dan tentu saja manajemen administrasi rumah sakit, bidang spesialisasi yang ku ambil ketika menempuh pendidikan profesi sekaligus menempuh pendidikan master.

Aku sengaja mengambil jalur double degree agar segera bisa mewujudkan impianku sebagai seorang dosen. Sejak awal aku sadar sepenuhnya, bahwa pendidikan profesi sendiri sejatinya tidaklah mudah dan menguras energi tenaga pikiran. Benar-benar melelahkan. Tapi aku masih nekat menempuhnya sambil menjalani pendidikan untuk mendapatkan gelar master. Rekan seangkatanku menyebutku gila, dosen-dosen sempat meragukan kemampuanku. Mungkin, aku memang gila.

Tapi aku memang harus gila, agar dapat menjalani itu semua. Karena jika aku cukup waras, maka dapat dipastikan aku akan berhenti dan menyerah begitu saja di tengah jalan. Terima kasih kepada Tuhan yang telah menganugerahkan otak yang sedemikian cerdas padaku. Juga, tentu saja pada dia yang sudah membuatku jadi gila dan...

Ah lupakan, Anna!

Tapi, kurasa semua itu sepadan.
Tak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa diperoleh tanpa pengorbanan, bukan?

Tingggg...

Kulangkahkan kakiku begitu pintu lift terbuka menuju ruanganku di sudut lantai ini. Di depan pintu kulihat tiga orang yang kukenali sebagai anak bimbinganku tengah bergerombol sambil sesekali bercanda riang.

"Selamat pagi." Sapaku.

Kontan mereka menoleh dan segera menghampiriku.

"Cuma bertiga ini saja? Bukannya hari ini jadwal kalian konsul berempat, kalau tidak salah. Kemarin Almaira sudah konsul dengan saya." kataku sambil meneliti mereka satu persatu.

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Where stories live. Discover now