Bagian 9 : Prof. Sindu Mahendradatta

33.7K 1.4K 41
                                    

Delapan tahun lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Delapan tahun lalu...

Bencana dalam wujud perempuan muda yang demikian cantik mempesona.
Begitulah aku menyebutnya.
Karena dia, sudah mengacaukan hidupku yang teratur rapi dan selalu terencana.

Igais Buwana Dewi.
Aku mengenalnya pertamakali disebuah kelas Farmasetika Lanjutan saat dia baru menginjak semester kelimanya. Sejak pertama dia sudah begitu menarik perhatian karena wajah cantik dan pembawaannya yang penuh percaya diri.

Dia yang tercantik di kelas itu.
Ah bukan... dia bahkan perempuan tercantik yang pernah kutemui di sepanjang sejarah karirku sebagai pengajar.
Katakan aku berlebihan, tapi memang begitulah adanya.
Kecantikannya saja sudah membuatku terpana, dan kemudian aku semakin terkejut ketika mendapati ternyata dia juga cerdas.

Aku sudah terbiasa dengan mahasiswi-mahasiswi cantik yang kesulitan menangkap materi yang kuberikan, hingga kadang membuat mereka harus mengulang di semester selanjutnya.
Tapi dia berbeda.
Dia lulus dengan nilai sempurna di semua ujian, kuis maupun tugas teori yang kuberikan. Aku sempat berfikir negatif, bisa saja dia berlaku curang dengan bantuan lelaki lelaki cerdas dikelasnya yang kutahu, hanya dari tatapan mata mereka, sangat memuja gadis itu.

Tapi bahkan nilai praktikumnya pun sempurna. Demi memuaskan rasa penasaranku, aku bahkan pernah turun tangan sendiri mendampingi ujian praktikum yang dia jalani.
Dan pada akhirnya akupun harus mengakui kalau dia memiliki otak brillian sekaligus kemampuan kerja yang luar biasa. Sangat cekatan.

Dan sekali lagi, dia sangat cantik.

Andai saja dia terlahir sepuluh atau limabelas tahun lebih awal...

Sejak saat itu aku mengawasinya diam-diam. Dan tanpa kusadari, hatiku tanpa malu bersorak bahagia ketika dia selalu mengambil mata kuliah umum maupun pilihan yang kupegang. Yang artinya, semakin banyak kesempatan kami bertemu.

Setelah beberapa waktu berlalu, aku sempat terkejut ketika akhirnya dia mengajukan diri menjadi asistenku.

Apa dia bercanda?
Bukannya meragukan kemampuannya, aku hanya sangsi, apa dia sanggup menahan beban yang harus dia jalani diantara kuliahnya sendiri yang juga sudah berat.
Jadi, sementara aku hanya diam tak menjawab permintaannya.

Demi kebaikanku sendiri, mungkin.

Tapi kemudian ketika Arifin Wicaksono, asistenku yang jenius, pamit untuk mengikuti proyek penelitian vaksin Respati Nugroho sialan itu, aku seperti tak punya pilihan lagi.

Aku butuh asisten, dan dari semua yang kandidat yang mengajukan diri tak ada satupun yang melebihi kompetensinya. Jadi, apa boleh buat?
Dan begitulah yang terjadi akhirnya.

Aku sungguh-sungguh salut ketika dia ternyata mampu bekerja secekatan dan seefisien Arifin. Dan nilai plusnya adalah, dibanding Arifin yang cenderung kaku dan pendiam itu, dia justru pribadi yang sangat-sangat menyenangkan. Dia bisa mengimbangiku, kami bisa mendiskusikan banyak hal ketika bersama.

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Where stories live. Discover now