Bagian 6

38.6K 1.8K 59
                                    

Profesor Sindu Mahendradatta.

Nama itu terus bergaung di kepalanya.
Bagaikan tombol play pada mesin pemutar dvd, menyebut nama itu seketika menghadirkan kembali semua kilasan kejadian di masa lalunya. Masih sangat jelas dan jernih layaknya baru kemarin semua itu dialaminya.

Walau datang lelaki silih berganti, namun tetap saja tidak mampu menindas kenangan yang telah diguratkan lelaki paruh baya itu. Karena jika diumpamakan keping dvd, Prof. Sindu adalah produk original dengan kualitas nomor satu, sementara semua lelaki selain dirinya hanyalah produk hasil bajakan yang kualitasnya yeah.... entahlah.

Mungkin hanya Frans yang mampu menyetarai semua kualitas Prof. Sindu. Karena dengan caranya sendiri, yang tentu saja sangat berbeda, lelaki itu, suaminya itu sanggup mempengaruhinya sampai sedemikian rupa, bahkan dalam awal pertemuan mereka yang terbilang singkat.

Mungkin itu yang membuatnya tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ajakan lelaki itu untuk menikah.

Anna mengernyit menyadari air di bathup sudah mendingin. Menyadarkan bahwa sudah terlalu lama dia berkutat dengan pikiran dan masa lalu akibat pertemuannya dengan Prof. Sindu.
Tak ingin akhirnya malah masuk angin, akhirnya dia beranjak dan segera membilas diri dibawah kucuran shower.

Selesai berpakaian dia menuju ruang makan,melihat apa yang disiapkan mbok Nah malam ini. Sup iga,tumis bokchoy dan bakwan jagung. Semua makanan kesukaannya.

Tapi malam ini -seperti malam malam sebelumnya setelah kepergian Frans- nafsu makannya belum juga muncul. Sejak pagipun hanya beberapa potong roti yang mengisi perutnya. Di acara perpisahan Prof. Pramono bahkan hanya air yang sanggup melewati tenggorokannya.

Tapi dia butuh makan. Kepalanya mulai mudah pusing terserang hipoglikemi akibat sering menuruti selera makannya yang tak kunjung membaik. Bukan hal yang baik mengingat aktifitasnya yang padat.

Akhirnya setelah dipaksakan dia hanya mampu memasukkan lima sendok makan, dan sebelum mulai merasakan muntah buru buru didorongnya dengan segelas susu coklat pekat yang sudah disiapkan Mbok Nah.

Anna lalu beranjak menuju ruang kerjanya dan membuka laptop mengecek pekerjaannya. Setelah menyalakan sambungan wi fi segera dibukanya email pribadinya. Jantungnya serasa merosot lagi -seperti malam malam sebelumnya- mendapati tak ada satupun email masuk dari Frans.

Anna mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Lagi-lagi tak ada kabar.

Biasanya tiaphari emailnya penuh dengan link artikel artikel kesehatan terbaru yang dikirimkan Frans. Hal itu sangat membantu pekerjaannya sebagai pengajar. Dan itu didapatinya sejak dari awal pernikahan mereka. Suaminya itu sungguh memahami pekerjaannya bahkan bisa dibilang Frans juga berlaku sebagai mentornya.

Seperti yang dia jalani dulu ketika bersama Prof. Sindu.

Anna meringis dalam hati betapa tanpa sadar ia selalu membandingkan mereka berdua.

Dengan lesu ditutupnya laptop. Hilang sudah minatnya untuk mengecek pekerjaan malam ini.

Anna memijit pelipisnya yang mulai terasa pening.
Ketiadaan Frans kali ini sungguh sungguh memukul perasaannya. Mereka biasa berjauhan, tapi tidak dalam suasana permusuhan seperti sekarang. Anna beranggapan dirinya adalah perempuan yang cukup tegar menghadapi segala sesuatu dengan tangannya sendiri. Tapi semenjak kepergian Frans, pelan-pelan disadarinya dia tidaklah sekuat itu.

Selalu ada Frans disisinya, entah saat dekat atau berjauhan lelaki itu selalu mampu membuatnya merasa terlindungi. Membuatnya kuat, karena seburuk apapun hari yang dijalaninya,di penghujungnya selalu ada Frans tempatnya mengadu.

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang