Bagian 7

34.5K 1.5K 65
                                    



... tak tahu di manakah awalnya ...
... rasa ini tumbuh dengam tulus ...
... dan apakah ini akan berakhir ...
... semuanya di luar kuasaku ...


Delapan tahun lalu...

Anna menatap lembaran hasil praktikum mahasiswa tingkat dua yang menumpuk di hadapannya. Seulas senyum terukir di bibir tipisnya.

Dia merasa puas dan bahagia. Walaupun menjadi asisten Prof. Sindu sekaligus laboran praktikum Farmasetika ternyata memang sangat-sangat melelahkan. Karena dia harus membagi tenaga dan pikirannya dengan timbunan tugas, praktikum dan kuliah teorinya sendiri.

Malah kehidupan sosialnya sendiri jadi terabaikan. Disaat teman-temannya masih sempat berkeliaran di mall atau sekedar nongkrong di kafe melepas penat dari beban kuliah, Anna justru harus berkutat dengan materi-materi kuliah dari Prof. Sindu yang harus ditransfernya ke adik-adik tingkatnya.

Belum lagi, harus mendampingi praktikum di jam-jam yang seharusnya menjadi waktu istirahatnya.

Tapi semua itu tak membuatnya mengeluh. Karena di setiap peluh, penat, dan rasa lelah itu adalah kesempatan yang dimilikinya untuk bersama, berada di dekat Prof. Sindu.

Ya.
Prof. Sindu.

Awalnya, di matanya profesor yang masih terbilang muda itu hanyalah sesosok guru besar yang sangat menginspirasi. Bagi gadis cerdas dan ambisius seperti Anna, Prof. Sindu benar-benar menjadi semacam cambuk pelecut semangat belajarnya. Dan tolok ukur pencapaian yang kelak ingin ditorehkannya sendiri di masa depan.

Tapi, bukankah hati manusia bisa berubah kapanpun tanpa mampu dikendalikan?

Dari tiap detik kebersamaan mereka, mulai mengguratkan rasa lain dihatinya.
Dari kekaguman seorang siswa, menjadi pemujaan seorang wanita.

Rona merah menyebar perlahan di pipi cantiknya mengingat entah sejak kapan dirinya mulai memperhatikan dosennya itu secara mendalam. Bukan lagi sebagai seorang pengajar, melainkan sebagai seorang lelaki.

Profesor Sindu Mahendradatta, terbilang muda diantara rekan sejawat dengan jenjang karir dan pendidikan yang setara. Usianya baru memasuki awal empat puluhan.
Perawakannya tinggi sedang, Anna mengingat bahwa mereka berdua dapat bertatapan dalam garis sejajar manakala berdiri berhadapan.

Untuk ukuran lelaki seumurannya, fisiknya bisa dibilang prima. Tak ada tumpukan lemak menggelantung di perutnya. Tak heran jika mobilitas lelaki itu sedemikian gesitnya. Mengajar dari kelas ke kelas, seminar dan kuliah tamu di berbagai tempat. Belum lagi dia juga memegang jabatan sebagai salah satu anggota dewan direksi perusahaan farmasi milik keluarganya yang cukup besar.

Anna mendesah pelan.
Ketika sudah diyakininya rasa aneh yang merayapi hatinya, tanpa canggung dan malu-malu di ungkapnya di hadapan sang pujaan hati.

"Prof., bolehkah andai saya punya rasa yang lebih kepada anda?"

"Maksud kamu apa?"

"Saya jatuh cinta pada anda."

"Kamu ini kenapa, sedang capek? Candaanmu kenapa aneh begini?"

"Saya serius Prof.,"

"Kamu tahu berapa usia saya, kamu juga tahu pasti status saya kan?"

"Iya saya tahu,"

"Lalu, apa-apaan kamu bilang jatuh cinta sama saya?"

"Prof. nggak suka saya bilang begitu?"

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang