Bagian 17

33.3K 1.2K 153
                                    

Inhale... exhale...
Siapkan diri, semoga setelah posting bab ini, saya nggak dimaki2 dan rame2 ditimpuki
#fiuhhhhhh 😥😥😥😥😥😥
=========================================================




Anna mengernyit merasakan sesuatu yang panas melingkar erat di pinggangnya. Matanya lalu terbuka meneliti seisi kamar yang telah terang disinari mentari. Kemudian perhatiannya tertuju pada pinggangnya sendiri.
Ah ya tentu saja itu lengan suaminya.

Tapi kenapa panas sekali?
Anna lalu mengarahkan telapak tangannya ke dahi Frans.
Panas.
Apa mungkin dia demam?
Wajahnya juga terlihat pucat.

Dia lalu bangkit dari ranjang, kemudian keluar dari kamar. Saat kembali, di tangannya tergenggam sebatang termometer digital.
Frans hanya menggumam tak jelas ketika Anna menyelipkan ujung metal termometer itu di antara celah bibirnya. Saat mencabutnya beberapa saat kemudian Anna terkejut mendapati angka yang tertera disana.

39°c.
Pantas saja terasa panas sekali.

"Frans?" disentuhnya pipi suaminya. Lelaki itu hanya membuka sedikit matanya. "Kamu demam kelihatannya, aku panggil dokter ya?" Lelaki itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

Anna lalu terlihat menelpon seseorang. Kemudian mematikan pendingin ruangan dan membuka jendela lebar-lebar. Dia lalu memutuskan segera mandi sebelum mengurus suaminya. Saat selesai, didengarnya suara dari arah dapur.

Sepertinya mbok Nah sudah datang. Kebetulan sekali, jadi dia bisa langsung menyuruhnya membuatkan bubur untuk Frans.
Setelah pergi ke dapur, menemui dan memberi instruksi pada wanita tua itu, Anna kemudian setengah berlari menuju pintu depan ketika mendengar bel berbunyi. Dia lalu kembali ke kamarnya bersama seorang lelaki paruh baya bertubuh agak tambun.

Lelaki berkacamata itu mencibir memandang Frans yang sudah terduduk di sandaran ranjang. Yang dipandangi hanya meringis.
Lalu lelaki itu, dokter Ikhsan, segera mulai memeriksa Frans.

"Kamu cuma kecapekan." Kata dokter Ikhsan kemudian.

"Baru dari Singapura seminggu dok." Jelas Anna. Dokter Ikhsan tampak berpikir.

"Acara yang di NUS itu ya?" tanyannya. Frans hanya mengangguk. "Sebagian bisa juga karena proses adaptasi fisik kamu. Cuaca di sini agak berbeda ya dari Bandung. Aku tahu, kamu sepertinya workaholic ya? Tapi ya harusnya jangan terlalu diforsir dulu. Harusnya bertahap."

Anna mencibir mendengar penjelasan dokter Ikhsan.
"Kalau saya nggak ngomel, itu Mitra Keluarga mau diambil juga katanya dok." Anna menyebut sebuah rumah sakit yang juga menawarkan posisi pada suaminya.

Dokter Ikhsan terkekeh.
Frans hanya tersenyum tanpa dosa.
Dokter Ikhsan lalu tampak mencoret-coret sesuatu dan mengulurkannya pada Anna.

"Cuma vitamin, sama analgesik. Ada sedatif ringan juga biar dia bisa istirahat." Jelasnya ketika Anna tampak berkerut meneliti isi kertas itu.

Anna mengangguk paham.
"Kamu istirahat dulu hari ini, bedrest total. Nanti sampai rumah sakit aku kabari siapa itu... asistenmu?" dokter Ikhsan tampak berusaha mengingat ingat.

"Suster Diana dok," jawab Frans.

"Ah iya, nanti aku bilang sama suster Diana biar dikosongkan dulu jadwalmu hari ini. " dokter Ikhsan yang tinggal beberapa blok dari rumah mereka memang kolega Frans di rumah sakit.

"Baik dok, terimakasih." Jawab Frans.

"Inget, istirahat!" katanya galak. Frans hanya terkekeh.

Anna lalu mengantar dokter Ikhsan ke depan. Saat kembali ke kamar, dia membawa segelas jus berwarna hijau. Frans hanya memicingkan matanya, kepalanya sungguh terasa berputar-putar. Badannya pun terasa bagai ditimpa lonjoran besi yang beratnya berton-ton.

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Where stories live. Discover now