Bagian 11

29.1K 1.4K 114
                                    


Anna membolak balik halaman demi halaman pelan, memperhatikan dengan detil tiap kalimat yang tertulis di sebundel kertas tebal yang terbuka di depannya.
Matanya menyipit tak ingin melewatkan tiap huruf angka hingga titik komanya.

Mulutnya tanpa sadar mengerucut ketika tangannya mencoret-coret di beberapa bagian yang dianggapnya kurang tepat.
Anna lalu mengetuk-ngetukkan pensil di tangannya ke meja. Pikirannya sibuk mencerna isi keseluruhan lembaran kertas yang barusan dibacanya.

Dihelanya nafas dalam lalu ditariknya punggungnya yang semula tegak hingga merebah ke sandaran kursi dengan lelah.
Pandangan matanya kini fokus pada sesosok manusia diseberang mejanya yang sedari tadi menunggunya dalam diam.

"Sudah cukup. Saya rasa, setelah memperbaiki di bagian-bagian yang sudah saya tandai, kamu sudah bisa memulai riset dan pengambilan data yang diperlukan."

Sekejap sosok di depannya itu melongo tak percaya. Lalu kemudian cepat-cepat menganggukkan kepalanya dengan bersemangat.

"Baik Bu, segera saya perbaiki dan paling lambat tiga hari lagi saya serahkan pada ibu untuk diperiksa kembali."

Anna hanya memberikan seulas senyum tipis. "Dan karena kamu akan mengambil lokasi penelitian diperusahaanmu sendiri, saya harap kamu bisa bekerja lebih cepat. Tidak kerepotan mengurus perijinan kan? Jadi kamu harus cepat mengejar teman-teman kamu." Anna memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Saya harap kamu bisa wisuda bersama-sama mereka besok." Kali ini Anna memberikan senyuman hangat yang tulus demi menyemangati lelaki muda di depannya itu.

Lelaki balas tersenyum lalu berpamitan dari ruangan Anna.
Setelah pintu ruangannya tertutup Anna masih terdiam.

Lelaki muda itu, Azhar Kahfi, mahasiswa kurang ajar yang ternyata memiliki otak yang cukup cerdas. Terbukti dalam waktu sebulan sejak memulai konsultasi pertamanya, Anna sudah berani menyatakan anak bimbingnya itu sudah siap memulai ke tahapan penelitian.

Dan lagi, sikapnya berubah cukup drastis. Anna awalnya sempat terkaget-kaget mengetahui bocah tengil tak tau adat itu ternyata bisa bersikap cukup sopan padanya.

Awalnya dia masih keberatan harus menangani bocah itu. Sudah cukup banyak pekerjaannya, suasana hatinya pun tak bisa dibilang bagus belakangan ini. Jadi dia tak ingin mengambil resiko menambah tekanan pada otak dan hatinya kalau tidak ingin stres sendiri.

Tapi lalu Prof. Sindu sendiri, paman bocah itu yang memohonkan kesediaannya.

Dia menceritakan pada Anna, bahwa sebenarnya Azhar anak yang baik dan cukup cerdas. Sikap tengil dan pemberontaknya mulai muncul sejak kematian sang ayah kurang lebih dua tahun lalu. Kehilangan itu sudah cukup memukulnya, ditambah lagi kemudian bocah itu dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagai putra satu-satunya, dirinyalah yang memikul tanggungjawab mengelola perusahaan farmasi keluarganya sepeninggalan sang ayah. Perusahaan yang juga di kelola Prof. Sindu dulu.

Bocah itu hanya terkejut dan merasa tertekan mendapati kenyataan itu. Rasa tertekan yang lalu disalurkannya dengan sikap acuh, memberontak, dan tak kenal sopan santun.

Aku tidak mau mati berdiri karena sakit hati kalau harus terus-terusan berurusan dengan bocah itu.

Batin Anna kala itu.

Tapi lalu ketika Prof. Sindu sendiri yang memintanya Anna tak sanggup menolak. Terlebih lelaki itu menjanjikan akan membuat bocah itu merubah perangai buruknya.

Dia sempat penasaran bagaimana bocah tengil itu sampai bisa sedemikian berubah tabiatnya.
Apa yang dilakukan Prof. Sindu padanya?

Tapi Anna lalu mengedikkan bahu tak peduli, dia tak butuh terlalu mencampuri urusan mereka. Cukup sudah bocah itu berubah jinak, jadi dia cukup bisa ditangani dan tak harus membuatnya menebah dada tiapkali dia berulah menjengkelkan.

UNFORGETTABLE CHEMISTRY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang