1. Aksi, Bukan Konversasi

5.9K 127 10
                                    

"Agni, karena kamu berbuat onar lagi bulan ini, uang saku bulananmu Ibu tahan sampai waktu yang tidak ditentukan."

Demi mendengar kabar mengerikan itu, mata gelap Agniyasa Bayu yang kuyu melotot. Ia nyaris membanting sendok garpu di tangan, tapi suaranya rendah dan tercekat kala berujar, "Tapi kenapa?!" sebagai balasan dari deklarasi tegas Luksita Kusuma Atmajamruta, Ibu tercintanya. Lelaki berambut lebat kusut meriap itu mendengus keras. "Bu, aku tidak berbuat salah!" rengek anak itu.

Nyonya Besar Atmajamaruta menoleh ke Akasha dengan anggun, seolah melimpahkan tanggung jawab menjelaskan pada pemuda itu.

Akasha, kakak tertua Agni, dengan tenang berdeham. Putra sulung itu membersihkan mulutnya menggunakan sapu tangan layaknya seorang bangsawan sebelum berujar tenang. "Kamu sudah melakukan tindakan tercela yang mencoreng nama keluarga kita, lagi, Adikku," kata pemuda itu tenang. "Tidakkah kamu berpikir sebelum kamu mengangkat tinjumu?" tanya si sulung dengan tajam.

Decakan lolos begitu saja dari mulut Agni kala ucapan halus Akasha mengena tepat pada ulu hati. "Aku hanya membela yang menjadi hakku," ujar Agni dongkol, membela diri.

"Aku tidak mengerti bagian mana dari menghajar teman sekelasmu sampai pingsan hanya karena sekotak pudding." Suara Luksita seolah wanita itu siap menangis kapan saja. "Ibu tidak pernah paham pola pikirmu, Agni! Padahal dari keluarga kita, semua orang berbuat sesuai aturan! Sesekali cobalah kamu contoh Akasha. Perilakunya baik, dia sopan, dan bisa menjadi teladan bagi adik-adiknya."

Menggeretakkan giginya kuat-kuat hingga bunyi gemeretuk terdengar keras, Agni akhirnya benar-benar membanting peralatan makan di tangan ke permukaan meja. Bunyi gebrakan yang memekakkan telinga itu membuat beberapa juru masak dan pelayan menahan napas mereka.

Dengan hidung kembang-kempis dan wajah merah menahan murka, Agni memandang lancang pada sang Ibu. Tubuhnya menjulang di hadapan perempuan itu, hanya terhalang meja makan. Tangan pemuda itu terkepal, seolah akan melayangkan pukulan atau serangan fisik sejenis pada wanita di depannya. Namun, anak kedua itu hanya berakhir mendengus. Ia menyambar tas yang digantungkan ke sandaran kursi lalu melangkah cepat meninggalkan ruang makan, pun meninggalkan rumah.

Sepanjang jalan Agni benar-benar ingin menabrak seseorang. Ia tak henti menyumpah serapah dalam hati.

Akasha yang hebat. Akasha yang tampan. Akasha yang berbakat. Akasha yang penurut. Akasha yang cerdas. Akasha yang bisa segalanya. Akasha yang berwibawa. Akasha yang disayang Ibu.

Agni mempercepat laju motor kesayangannya.

***

Hari ini pun sama, anak itu sudah menempatkan tasnya ke bangku di sebelah bangku Agni. Gadis manis bertubuh mungil yang memikat itu seolah sudah memesan bangku tersebut untuk satu semester ke depan tanpa mempedulikan di sebelahnya sang biang onar duduk di sebelahnya. Agni menggaruk tengkuk malas. Ia bisa saja mengusir gadis

itu mengingat suasana hati Agni yang sudah buruk semenjak tadi, hanya saja melihat manik biru gadis itu yang berbinar jernih menyorot heran selalu melemahkan Agni.

Maka seperti biasa, Agni pun meletakkan tasnya tanpa banyak bicara ke bangku sebelah kiri si gadis, lantas mendudukkan dirinya.

Tidak ada sapaan yang terucap satu sama lain, hanya duduk bersebelahan tanpa bertukar wicara-kontak mata pun enggan dibuat-sibuk dalam pikiran masing-masing.

Canggung memang, tetapi berada di samping gadis itu membuat Agni merasa nyaman. Perdebatan dengan Ibu dan semua kesumatnya sepanjang jalan tadi seolah teredam hanya karena duduk di sebelah si manis bertubuh mungil ini.

Agni yang bertubuh tinggi besar seperti preman menopang dagu, menatap malas kondisi kelas yang masih lengang ditemani si gadis mungil selayaknya kuncup dandelion yang pendiam, Adel.

Cerpen 10 Days ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora