6. My Memory

305 11 0
                                    

Ian duduk di balkon kamar sambil memandang penduduk kota Skipton. Dari kamarnya berada di lantai ketujuh sebuah rumah susun ia dapat melihat gedung tinggi. Pesawat balon udara bergerak melayang di langit jingga. Sinar matahari mulai meredup perlahan berganti dengan langit malam yang dipenuhi dengan bintang.

Teknologi mesin uap mulai berkembang, kini penduduk bisa menggunakan pesawat yang terbang di udara, serta kereta uap untuk transportasi antar kota. Namun, tidak jarang juga penduduk yang masih menggunakan kereta kuda. Bagi golongan bangsawan, ada juga yang sudah menggunakan mobil sebagai kendaraan mereka.

Mata Ian mulai meredup. Mengikuti hilangnya sinar mentari, kenangan tentangnya mulai muncul di benak Ian.

Ian tersenyum.

Saat itu dirinya masih bersekolah di Skipton Academy. Salah satu sekolah bergengsi di kota Skipton ini.

Suatu hari dia pergi kerumah sakit untuk menjenguk orang tuanya yag sedang sakit. Namun, saat hendak pulang ia menemukan sebuah buku kecil yang berjudul My Memory. Ian membuka buku itu.

“Ah... sungguh tidak sopan.” Celetuk seorang gadis tiba-tiba, membuat Ian spontan menoleh ke arah sumber suara.

Berdiri seorang gadis berambut pirang dengan rambut terurai panjang. Matanya sebiru langit, berkilau layaknya berlian. Kulitnya seputih mutiara dan selembut sutra membuat siapapun terpesona olehnya.

“Kau sedang bengong apa? Kembalikan bukuku!”

Ian menunduk menatap buku yang berada di tangannya.

“Maafkan aku, aku tidak sengaja menemukannya saat jatuh. Lalu membacanya.”

Gadis itu mengerucutkan telinganya.Sementara, pemuda bersurai ikal dan bermanik ruby itu hanya meringis melihat reaksi gadis itu.

“Karena kau sudah tidak sopan membaca rahasiaku, kau harus bertanggung jawab.” Seraya mengambil buku itu dari tangan Ian.

“Bertanggung jawab?”

“Namaku Stella Patinson. Kau bisa memanggilku Stella. Mulai sekrang kau harus menuruti seluruh kata-kataku.” Tukas gadis itu.

Ian menghela nafas, bagaimanapun dirinya memang harus bertanggung jawab. Dan apa-apaan judul isi buku.

“Baiklah.” Jawab Ian pasrah.

“Mulai sekarang aku akan tinggal dirumahmu.” Ucap Stella dengan tenangnya. Namun, tentu itu sangat mengejutkan bagi Ian. Tidak mungkin seorang gadis tinggal satu kamar dengan seorang pria hanya berdua.

“Ha?” ucap Ian sebagai reaksi akan keterkejutannya.

“Tenang saja, aku sudah bilang eoada orang tuaku. Mereka tidak akan mengkhawatirkanku jika itu memang keinginanku.” Ucap Stella dengan tersenyum.

Ian menatap gadis itu. Tentu ia tahu senyumannya itu adalah palsu.

Sesampainya dirumah susun tempat Ian tinggal, gadis itu langsung berlari kesana kemari sperti anak kecil saja. Lalu tak sengaja dirinya terjatuh. Akibatnya semua isi tas yang di bawanya juga terlempar bersamaan dengan jatuhnya dirinya.

Obat-obatan berserakan kesana kemari. Tidak menyangka di balik sosok gadis periang itu ada hati yang begitu rapuh.

“Hei kau tenang saja. Aku hanya terjatuh saja. Tapi bisakah kau bantu aku berdiri?” ucap Stella masih dengan riangnya.

“Apakah kau tidak ingin tahu namaku?” tanya Ian.

“Ku rasa aku tidak perlu tahu namamu. Mungkin lebih baik begitu.” Jawab Stella seraya tersenyum ke arah Ian.

“Oh ya aku ingin kau membawaku ke tempat yang indah?” pinta gadis itu.

“Tempat yang indah ya...” Ian berpikir sejenak, sebelum kemudian ia teringat sebuah tempat yang mungkin juga disukai gadis ini.

Ian meraih tangan gadis itu, dan menariknya ke arah balkon kamarnya. Dari lantai ketujuh itu, mereka bisa melihat bulan purnama yang bersinar indah, menampakkan kemilau birunya. Memeluk daerah dibawahnya dengan cahayanya yang memberi ketentraman. Bintang-bintang di langitpun bersinar seolah tak ingin redup oleh sang rembulan.

Sementara kota dibawahnya berpendar seperti bintang di langit. Saat itu Ian tak tahu apa yang dirasakan gadis itu. Tapi, ia yakin Stella juga menyukainya.

“Hei, terimakasih kau telah menunjukkan tempat yang indah ini kepadaku. Aku sangat senang sekali.” Jelas Stella.

“Stella... Apakah kau benar-benar akan mati?” tanya Ian.

“Tentu saja. Aku akan mati.”

Malam panjangun berlalu.

Keesokan harinya Stella kembali kerumahnya. Saat itu ia benar-benar berterimkasih kepada Ian. Sementara itu, Ian pun senang atas kehadiran Stella. Seolah dulu dirinya juga pernah bertemu degannya.

Haripun berlalu. Sebuah paket smpai ke rumah Ian. Tertulis dari Stella Patinson.

Ian membuka paket itu. Isinya adalah buku yang membuat mereka bertemu saat itu. Buku yang berisi tentang isi hati Stella. Lalu tak lupa ia membaca surat itu
Hei... mungkin kau terkejut aku mengirim buku ini padamu bukan?Buku tentang kenanganku...

Anoo... sebenarnya aku sudah tahu namamu. Maaf aku hanya berpura-pura tidak mengenalmu. Ternyata kau melupakanku, ya? Aku sangat terkejut kau tidak mengingatku sedikitpun. Baiklah itu berlebihan.

Aku hanya ingin berterimakasih kau memberiku kenagan terakhir yang sangat indah. Balkanmu itu... aku sangat menyukainya. Ya, walaupun kau sedikit kasar. Namun, pertemuan kita yang hanya sesaat itu aku ingin kau terus mengingatnya.

Karena mungkin saat kau membaca surat ini, aku tidak akan ada di dunia ini lagi.

Ian terimakasih Ian saat kita masih kecil dulu dan juga untuk pertemuan singkat kemarin. Aku sangat senang. Aku mencintaimu...

Selamat Tinggal.

Mengingatnya membuat Ian sedikit menyesal. Kenapa dirinya dulu tidak ingat padanya. Pertemuan yang singkat penuh dengan suka dan duka itu tidak akan pernah terlupakan oleh Ian.

“Stella, maaf dulu aku tidak mengingatmu. Tenang saja, mulai sekarang aku kan selalu mengingatmu. Dan kenanganmu akan selalu kusimpan dalam album memoriku. Dan maaf karena aku menambahkan kisahku ini di bukumu. Terimakasih Stella.”

Penulis
sorananime

Cerpen 10 Days ✔Where stories live. Discover now