17. Eclair's Album

205 5 0
                                    

  [!]Terdapat unsur kekerasan, mohon bersikap bijak dan mengambil hikmahnya saja (kalo ada). Jangan ditiru. Bagi yang tidak suka, silakan skip bab ini.[!]

   Aku melirik jam di dinding. Pukul 11 siang. Malas, aku menggeliat turun dari sofa. Dengan telaten, aku menuang makanan kucing ke dalam mangkok bertuliskan “ARLO”.

  “Arlo, kemari. Saatnya makan siang,” Panggilku pelan.

   Tidak ada jawaban.

  “Arlo, kau serius? Kemari atau kuberikan makanan ini pada kucing Pak Yukimura.”

   Hening. Kemana pula kucing tukang makan itu? Mungkinkah dia akhirnya sadar untuk diet lantaran berat badannya yang kian bertambah? Mungkinkah Arlo akhirnya sadar bahwa dirinya kelebihan berat badan?

   Aku menggelengkan kepala, mana mungkin.

   Tepat ketika aku hendak memutar kenop, Arlo mengeong, kepalanya menyembul dari bawah ranjangku.

  “Astaga, di situ kau rupanya. Ayo keluar, ini makan siangmu.”

   Arlo kembali mengeong pelan.

   Perasaan khawatir menyeruak dalam hatiku.

  “Ada apa? Kau tidak sakit, bukan?” Aku melangkah mendekat.

  “Ah, begitu rupanya. Kau tersangkut di bawah ranjang,’’ Aku tertawa kecil, “Baiklah, mulai besok, aku akan mengurangi porsi makanmu.”

   Arlo mengeong, protes.

  “Tidak ada protes atau aku takkan menarikmu keluar dari situ!”

   Arlo menatapku, mengeong pelan. Baiklah.

   Aku menjulurkan tanganku, menarik Arlo keluar dari kolong ranjang. Oh astaga, ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Arlo benar-benar bertambah gemuk.

   Seseorang mengetuk pintu kamarku, menginterupsi usaha penyelamatan Arlo dari bawah ranjang.

  Tok! Tok! Tok!

Pintu diketuk dari luar.

  “Shiii, kau di dalam?” Panggil sebuah suara familiar.

   Aku menyeringai, “Sepertinya kau harus menunggu di situ lebih lama, Arlo.”

   Arlo mengeong sinis.

   Aku melenggang menuju pintu, memutar kenop.

  “Hai, Leonna. Ada apa?”

   Gadis itu mengangkat sebuah bungkusan di kedua tangannya. Aroma kue menguar dari salah satu bungkusan itu.

“Ayo makan siang dan bermain game!”

  “Aku mau saja, tapi..” Aku menggantungkan kalimatku, “Arlo masih tersangkut.”

   Kubuka pintu lebar-lebar, agar Leonna bisa melihat Arlo.

   Merasa diperhatikan, Arlo mengeong jengah. Oh ayolah, keluarkan aku dari sini saja, demikian maksudnya. Barangkali jika kucing bisa memutar bola mata, ia akan melakukannya.

   Mata Leonna membulat, “EEHHH?!”

   Leonna menghambur masuk. Menjulurkan tangan untuk menarik Arlo. Mukanya memerah saat menariknya.

  “Dia, berat sekali,” Leonna berkata patah-patah.

   Aku mengangguk, memang.

  “Mungkin kita butuh orang lebih,” ujarnya sebelum menekan tombol dial suatu nomor.

   …

   Seseorang yang dipanggil Leonna datang tiga menit kemudian, terengah-engah di depan pintu kamarku.

  “A-dha ap-pha?” Tanyanya padaku, terbata. Napasnya tak beraturan, keringat bercucuran dari pelipisnya.

   Aku menoleh ke arah Leonna, jelaskan.

   Leonna tertawa kecil, meletakkan cangkir minuman coklat-nya.

   Air muka Leonna berubah serius, lantas menjelaskan dengan singkat, “Arlo terjepit di kolong ranjang Shiii.”

   Bien, senior kami, terduduk lemas di sofa-ku.

  “Kalian bersungguh-sungguh? Menelepon senior kalian, hanya, hanya karena itu?” Bien-senpai mengatur napasnya perlahan.

  “Bukan kalian, tapi dia,” Sergahku, menunjuk ke arah Leonna yang kembali menikmati minumannya.

  “Apa salahnya? Bien-senpai kan kuat, jadi kurasa bisa membantu.” Leonna menyesap minumannya.

  “Baik, baik. Lantas apa yang harus kulakukan?” Bien-senpai melirik kami ―kedua juniornya.

  “Bantu kami menarik Arlo keluar,” Jawab Leonna, pada intinya. Leonna melangkah ke samping ranjangku, berlutut anggun di hadapan Arlo.

   Leonna menoleh, “Tunggu apalagi? Ayo keluarkan Arlo.”

   Aku dan Bien-senpai melangkah malas menghampiri.

   Kami telah siap menarik Arlo ketika Leonna memincingkan mata ke kolong ranjangku.

  “Tunggu sebentar,” Cegah Leonna.

   Dengan cekatan, tubuh mungilnya menyusup ke bawah kolong, di samping Arlo.

  “Pantas saja!” Ujarnya dari bawah ranjang. Leonna merangkak keluar, diikuti Arlo yang mengeong pelan, kesal.

   Namun, tangan Leonna tidak kosong. Ia membawa sebuah…

  “Hei, Shiii, apa ini?” Tanyanya.

   Kepalaku mendadak terasa seperti akan meledak.

  Bukankah, bukankah aku telah membakar semua tentangnya?

Kenapa buku itu masih ada?

Bagaimana bisa benda itu ada di sini?

  “Bukankah itu album?” Bien-senpai menanggapi.

   Leonna menepuk-nepuk album itu, berusaha menghilangkan debu tebalnya.

  “Ec, Ecla―” Leonna mengeja label album itu, “Eclair’s Album.”

  “Siapa Eclair, Shiii?” Bien-senpai bertanya, namun aku tak memperhatikan. Fokusku hilang. Pandanganku mengabur, dan semua mendadak gelap.



   Seorang gadis bersurai vermilion mengerjap, membuka mata. Matanya menyipit, berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Ia menggosok matanya, berusaha mengusir kantuk.

  Pintu kamar diketuk. Gadis bersurai vermilion mempersilakan masuk dengan lirih, takut-takut jika itu ayahnya.

  Seorang pemuda berambut sewarna dengan si gadis memasuki kamar, mengulum senyum.

  Bahu gadis bersurai vermilion itu melemas, tegang mengira itu ayahnya.

  “Ada apa, Eclair?” Gadis itu bertanya.

   Eclair ―pemuda itu― meletakkan jari tulunjuk di depan mulutnya.

  “Sttt, Papa sedang tidur,” Bisiknya.

   Gadis itu ikut memelankan suaranya, “Ah, maaf. Lalu, kau belum menjawab pertanyaanku, Kak.”

   Eclair tersenyum cerah, seolah matahari berada dalam giginya.

  “Kau mau jalan-jalan, Shiii? Hari ini Papa akan tidur sedikit lama.”

   Sekilas, Shiii melihat Eclair tersenyum licik.

   Shiii mengangkat alis, “Darimana kau tau Papa akan tidur sedikit lebih lama?”

   Eclair mengangkat bahu. “Itu tidak penting. Selain itu, aku baru ingat, kemarin aku memenangkan dua tiket gratis ke taman hiburan. Kau mau ikut?”

   Mendengar taman hiburan, antusiasme Shiii meningkat. “Sungguh?”

   Eclair mengangguk.

  “Beri aku lima menit untuk berganti baju.”

   Eclair melenggang keluar, tangannya membentuk isyarat “oke”.



   Shiii lupa kapan terakhir ia mengunjungi taman hiburan. Barangkali sudah satu atau dua tahun.
   Netranya berbinar memandang permainan yang ada. Tangannya meremas tali kameranya, antusias. Tanpa berlama-lama, Shiii sudah menarik Eclair menuju roller coaster.

   Selama beberapa jam, tangan Eclair terus ditarik-tarik oleh Shiii, mengelilingi area taman hiburan. Menaiki hampir seluruh permainan yang ada. Sesekali, tidak, setiap dua menit sekali, Shiii berhenti dan memotret apa saja dengan kamera kesayangannya. Eclair pun tak jauh berbeda, ia terus-terusan mengajak Shiii berfoto, hampir di setiap sudut taman hiburan.

Terkadang, satu-dua gadis malu-malu mendekati mereka. Menanyakan nama Eclair dan nomor ponselnya. Eclair terlihat senang-senang saja, sebelum Shii menyikut perutnya, berkata bahwa ia ingin naik wahana lain.



   Shiii menghempaskan dirinya di kursi taman, lelah setelah seharian mengelilingi taman hiburan. Eclair duduk di sampingnya, menenggak jus jerus kalengan.

  “Bagaimana? Kau senang?” Eclair bertanya, tangannya menyerahkan sekaleng jus jeruk.

  “Saangaat!” Shiii melemaskan otot lengannya. “Terima kasih telah mengajakku.”

   Eclair mengulum senyum mentarinya. “Syukurlah jika kau senang.”

   Shiii mengangguk, menyesap habis jus kalengannya.

   Eclair tersenyum memperhatikan Shiii, kemudian melirik arloji yang melingkar di tangan semi kekarnya. Mata Eclair membulat, panik.

  “Shiii! Kita harus kembali sekarang!” Ditariknya pergelangan tangan Shiii, berlari meninggalkan taman hiburan.

  Efek obatnya pasti sudah habis, pikir Eclair.



   Sekalipun mereka mengendap-endap masuk rumah, lelaki itu tetap mengetahuinya. Ia memandangi Shiii dan Eclair dengan muka masam. Wajahnya bahkan memerah karena marah.

  “Dari mana kalian?” Tanya lelaki itu dengan intonasi mengintimidasi.

  “Jalan-jalan sebentar,” Jawab Eclair datar.

  “Siapa yang mengizinkan kalian keluar?” Ia kembali bertanya, mendelik marah.

   Shiii bergumam lirih, “Tidak, Papa. Aku―”

   Eclair maju, melindungi Shii, menginterupsi perkataannya.

“Tidak ada izin. Lantas apa?” Eclair tegas.

BUAGH!

  Kepalan tangan mendarat di wajah tampan Eclair.

  “KAU MENANTANGKU, HAH?!!”

   Eclair memegangi pipinya, mengaduh kecil. Eclair hendak menegakkan tubuhnya, tapi sosok di depannya telah melancarkan serangan kedua. Ketiga. Keempat. Kelima.

   Shiii merangsek maju, membentengi kakaknya dari sang ayah. Namun bukannya berhenti, “Papa”-nya tetap melancarkan serangan selanjutnya. Tangannya telak menghantam dagu Shiii.

   Demi melihat sosok adiknya terkena pukulan, Eclair bangkit berdiri. Matanya berkilat-kilat marah.

  “Apa yang kau lakukan barusan, hah?!” Mata Eclair berkilat-kilat tajam.

   Sosok di depannya mengangkat bahu pongah, “Salahnya sendiri sok pahlawan.”

  “APA YANG KAU LAKUKAN BARUSAN, HAH?!” Eclair mengulangi kalimatnya. Kilatan marah kian berkobar di matanya.

BUAGH!

   Eclair melepaskan tinjunya, telak membuat lidah sosok di depannya tergigit keras, darah muncrat dari mulutnya.

   Eclair memandang sosok yang tersungkur di depannya dengan pandangan haus darah. Bak harimau memandang rusa gemuk di seberang jalan.

   Shiii menutup mulut. Matanya terasa panas. Pandangannya buram lantaran terhalang air yang berkumpul di pelupuk matanya, yang siap meluncur kapan saja.

   Eclair menoleh, “Hei, jangan menangis.” Eclair menepuk puncak kepala Shiii.

  “Pipimu sakit kah? Tidak apa-apa, aku di sini, tidak apa-apa.”

   Air mata Shiii meleleh, setelah susah payah ia menahannya. Shiii menangis tanpa suara, dengan Eclair di sampingnya yang terus mencoba menenangkan.

   Tanpa disadari Shiii maupun Eclair, tangan lelaki setengah baya yang tengah tersungkur itu menggapai-nggapai apa saja yang dapat diraihnya. Ia merasakan tangannya menemukan benda tebal dan berat, buku hardcover dengan kertas tebal pada tiap halamannya, atau dengan kata lain, sebuah album foto.
 
Lelaki itu bediri patah-patah, lantas dalam gerakan supercepat, menghantamkan album itu ke kepala Eclair.



   Shiii bersenandung pelan. Tangannya sibuk menempelkan foto-foto yang ia ambil tempo hari bersama Eclair ke dalam sebuah album. Sesekali ia berhenti, membubuhkan beberapa kalimat di bawah foto, atau jahil mencoret-coret foto wajah Eclair dengan spidol.

   Dengan telaten, Shiii menuliskan judul di sampul album tersebut. Eclair’s Album.

   Shiii menyeringai puas. Dirinya kini telah mengendap-endap menuju kamar Eclair, tangannya membawa album itu dengan hati-hati, seolah benda itu adalah berlian dua puluh empat karat seberat lima kilogram.

   Shiii mengetuk pintu kamar Eclair. Suara Eclair menjawab, mempersilakannya masuk.

   Eclair tengah duduk di tepi ranjangnya, menyisir surai vermilionnya. Rambutnya terlihat mengilap diterpa sinar mentari yang menelisik dari balik tirai jendela. Beberapa lebam biru terlihat di wajah dan lengannya, namun demi melihat Shiii masuk, ia mengulum senyum. Senyumnya bersinar, lagi-lagi seolah terdapat matahari di dalamnya.

   Shiii melangkah masuk, kedua tangannya berada di balik punggung, berusaha menyembunyikan album spesialnya.

   Eclair mengernyit, “Apa itu di balik punggungmu?” Shiii menyeringai.

   Shiii menyerahkan album yang ia bawa pada Eclair. “Ini berisi foto-foto kemarin di taman hiburan,” Jelas Shiii tanpa diminta.

   Eclair membaca tulisan pada sampul album. Tanpa sadar, bibirnya mengulas senyum tipis. Diusapnya puncak kepala Shiii di sampingnya, “Terima kasih.”

   Shiii mengangguk kecil. Namun, atensinya segera teralihkan ketika melihat bagian belakang kepala Eclair yang berbalut kasa.

  Shiii menunjuk perban di kepala kakaknya, “Itu. Apa masih sakit?”

   Seolah dikomando, wajah Eclair berubah seketika. Wajahnya memerah, mimiknya menunjukkan ia tengah menahan sakit yang teramat. Tangannya memegangi kepalanya.

   Shiii panik, “Eclair? Kau tak apa? Hei―”

   Eclair merosot dari ranjang. Tertawa berguling-guling di lantai. Shiii menendang betis Eclair.

  “Menyebalkan. Sia-sia aku khawatir,” Shiii memberengut.

   Eclair masih berguling-guling dengan sisa tawanya. “Ma-aduh, hahahahah.. Maaf, Shiii,” Eclair menyeka ujung matanya.

  “Daripada itu, bagaimana kalau kita lihat-lihat foto-foto lama?” Eclair mengeluarkan setumpuk album foto berdebu, meletakkannya di lantai sembarang.

  “Saa, yang mana dulu, ya?”



  “Setelah itu, aku dan Eclair menghabiskan waktu untuk melihat-lihat dan mengenang setiap peristiwa dari album. Kami terlalu asyik, hingga lupa waktu. Tau-tau saja, Papa sudah berteriak meminta makan malam, menghardik kami.” Mata Shiii meredup.

   Leonna menatapnya iba Ia mengelus lengan Shiii, berusaha menyalurkan semangat.

  “Itulah hari terakhir,” Shiii melanjutkan, “hari terakhir aku bersenda gurau dengan Eclair.”

   Bien merengkuh bahu Shiii, menepuk lemput punggungnya.

  “Setelah itu, kurang lebih sepekan aku tak melihat Eclair. Esoknya saat Eclair pulang, Papa juga pulang dalam keadaan mabuk berat. Papa kollaps, hingga,” Shiii menahan sedan, “hingga Papa menembak Eclair..” Suara Shiii pecah.

   Baik Leonna maupun Bien, keduanya memeluk Shiii. Keduanya terus membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Kalimat bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi dalam hati Shiii, semuanya kosong. Ia tak percaya pada kalimat mereka. Orang yang pernah mengatakan “semua baik-baik saja” pada Shiii meninggal dengan tragis. Ia tak percaya lagi.

   Ingin rasanya Shiii menghapus seluruh memorinya. Tentang masa lalunya. Tentang keluarganya. Tentang Eclair.

   Beberapa bulan ini Shiii mulai dapat menerimanya, teruama setelah ia bercerita. Kepada gurunya, Pak Fudo. Teman barunya, Steven. Mulanya semua telah menjadi ringan, tapi …

  … album itu membawa kembali seluruh kenangan gelapnya. Membawa kembali seluruh perasaan tidak terimanya. Mengembalikan seluruh masa lalu, yang tak ingin ia ingat.

   Bien menyerahkan segelas air putih pada Shiii, “Minumlah.”

   Shiii memaksakan dirinya minum. Sesekali berhenti saat ia tak kuasa menahan sedannya.

   Leonna mengelus-elus punggung Shiii, menenangkannya. Membantunya minum. Perlahan, napas Shiii kembali beraturan, meski matanya masih merah dan pipinya basah.

   Saat Shiii sudah lebih tenang, Bien bertanya, “Lalu, mau kau apakan itu?”

   Shiii menelan kembali tangisnya. Patah-patah ia berkata, “Se-men, ta-ra, to-long, jauhkan dari-ku..”

   Bien mengangguk. Ia mengangkat Arlo, mengambil album foto di bawahnya.

   Sebuah amplop putih menyelip keluar. Jatuh dengan anggun ke lantai kamar Shiii. Shiii terkesiap. Bagaimana mungkin―

  Di ujung amplop itu tertulis,

  Untuk Adikku tersayang, Noctis Shiii.

   Shiii dengan gemetar mengambil amplop itu. Bien membantu Shiii membuka perekat amplop. Gemetar Shiii menerimanya.

   Shii membaca surat itu dengan cepat. Tangan dan tubuhnya bergetar hebat. Leonna dan Bien merangkulnya, berusaha menenangkan.

  Namun semua menjadi percuma ketika mereka sampai di akhir surat. Di sana tertulis,

  Maaf dan terima kasih atas segalanya, Shiii adikku. Aku mencintaimu.


Selamat tinggal,

Noctis Eclair.


  Shiii tak sanggup menahan tangisnya. Ia menangis meraung-raung. Bahkan Bien dan Leonna ikut menangis, masih memeluk Shiii.



Lays’s Note :

  JELEJELEJELEJELEJELE. AAAAAAA.

  Ehem, buat anak-anak Marshall, terima kasih udah minjemin anaq-anaq kalian.

  Oke sekian. Iya tau jelek, yamaaf.

Penulis
laays_ry

Cerpen 10 Days ✔Where stories live. Discover now