2. Jauh di mata, Dekat di Sketsa

419 15 1
                                    

Hari itu. Rumahku kacau tak karuan. Tak ada satu pun barang hilang atau maling terlibat dalam rumah ini. Toh kami harus bersiap untuk pindah rumah. Babeh baru saja pensiun jadi terpaksa pindah rumah ke tepi kota yang lebih murah sekaligus menyewakan rumah ini.

Sayang. Aku tidak bisa lagi bertemu teman-teman SMK dan sahabat sekaligus teman masa kecil super cuek yang tinggal di sebelah rumah.

Ketika kurapikan barang-barang untuk pindah rumah, tak sengaja kutemukan album kenangan semasa SMK di sana. Ah, masa-masa SMK bukanlah hal yang menyenangkan. Hidup bagaikan robot dan tanpa kebahagiaan menjadi hari-hariku selama di sana.

Semua berubah ketika kubuka lembaran selanjutnya. Sebuah gambaran tangan kasar yang ada di antara setumpuk kertas dalam map plastik tembus pandang. Itu semua adalah koleksi sketsa tangan—yang kini tak bisa lagi kubuat dengan tangan kananku.

Aku tertegun dengan pola pakaian dan gambar kasarku di atasnya.
******
Tatkala masa-masa sekolahku begitu suram, harapanku untuk melarikan diri hanyalah dua: komunitas _game online_—ya, karena pada masa itu aku bergabung dengan sebuah _guild_ aktif dan masih berteman dengan para penghuninya hingga sekarang—dan organisasi sekolah. Semoga saja organisasi tidak seburuk teman-teman sekelasku.
Toh aku hanya dekat dengan Yogz, Okta, Degar, Fiya, Yuni, Ade, dan Lian. Aku memang tidak banyak teman dekat di kelas hingga lulus. Namun ketiga pria yang kusebutkan di awal masih berhubungan baik sampai sekarang.

Masa-masa organisasi memang jauh lebih menyenangkan daripada masa sekolahku itu sendiri. Ingatanku jauh lebih kuat tentang mereka daripada masa-masa suram di sekolah. Dua organisasi dalam satu waktu: organisasi jurusan di pojok atas gedung E dan organisasi wajib di sudut kecil belakang sekolah. Kadang kala banjir menyusup ke dalam hingga membuat kami kewalahan.

Bagaimana ceritanya aku bisa berada di sana? Semua berkat latah dan keputrian.

“Eh nyo!” seruku ketika latah sedang kumat. Memang aku selalu menyebut kata “nyo” setiap kali latah.

Seorang gadis jangkung, tingginya sekitar 168 cm, tertawa padaku.

“Dikirain orangnya judes. Eh tahunya latahan juga,” ucapnya dengan senyuman menyipit selagi tak henti terkekeh di barisan belakangku. Saat itu upacara sedang berlangsung di bulan pertama kami bersekolah.

Aku tidak mengenalnya tapi ia bersama temannya mengenalku hingga keputrian. Mereka selalu berempat. Si jangkung sipit yang sering mengerjaiku hingga latah, si kecil imut berkulit putih dengan senyuman manis, si gadis berkacamata yang pernah satu kelompok denganku sewaktu MPLS, dan satu lagi yang tampak jauh lebih dewasa dan tenang.

Aku sering bicara dan bertemu mereka setiap keputrian. Lalu datanglah satu teman mereka, seorang ukhti bila kulihat dari panjangnya hijab dan perkataannya, duduk di dekat kami.

“Assalamu ‘alaikum. _Punten_. Boleh duduk di sini?” pintanya dengan logat Sunda kental di balik senyuman tulusnya.
Ia juga datang bersama seorang gadis tomboi, kontras dengan penampilan feminim dari balik seragam hari Jumatnya.

“Hei, _naha urang teu diajakan yeuh_?” (Hei, kenapa aku gak diajakin sih?) pintanya dengan nada meninggi. Kupikir ia preman berkat bahasa Sunda kasar yang selalu saja berakhir dengan istighfar 1000 x.

Berawal dari keputrian, mereka mengajakku bergabung organisasi. Sayang, di saat aku baru masuk, justru gadis berparas cantik itu pergi.

Namanya Rina. Aku baru saja kenal dengannya saat keputrian lalu pergi setelah aku masuk.
******
“Ka, ngapain _ngajentul_ duduk di deket pintu? Mau _nongtot_ jodoh?” (K
mau susah jodoh) tanya Emak.

“Kalem _atuh_, Mak. Ini lagi beberes buku _heula_,” balasku.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang