5. Sahabat Gelembung

1.9K 77 7
                                    

Sore hari di kelas IPA 2, aku dan Gaida mengerjakan tugas matematika di meja yang sama. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kita berdua.

Ah, maaf, sebenarnya Gaida saja yang mengerjakan tugas matematika. Aku hanya duduk di sampingnya, menunggu Gaida selesai.

Gaida bilang, kalau aku duduk di sampingnya, dia akan menjadi lebih pintar.

Semilir angin menghembus tirai, senja matahari memasuki ruang kelas. Di saat itu, Gaida menutup buku dan merebahkan kedua tangannya.

“Sudah selesai?”

Gaida membenarkan kacamatanya lalu tersenyum padaku. “Sudah.”

“Kalau begitu, ayo kita pulang.”

“Eh… tunggu dulu!” Gaida menghentikan langkahku.

Aku memandangnya sambil berdiri. “Ada apa lagi?”

“Kamu belum jawab pertanyaanku!”

Aku menghela napas. “Ya ampun… sudahlah menyerah saja. Aku tidak mau jadi pacarmu.”

“Kenapa?”

“Ya… kamu tahu sendiri kondisiku seperti apa.” aku memalingkan pandangan dari Gaida.

Aku tidak tahu ekspresi Gaida seperti apa. Tapi, karena sudah sering ditolak olehku, aku yakin ekspresinya pasti biasa saja.

Gaida belum memberi tanggapan. Aku yang masih memalingkan wajah darinya, mulai merasa khawatir. Aku pun kembali memandang dirinya.

“Gai—” aku tersentak. “Woy! Malah main hape!”

Gaida nyengir. “Mau jadi pacarku?”

“Oke deh, aku pikir-pikir dulu. Yang penting ayo kita pulang. Sekolah mau tutup.”

Gaida memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. “Ayo!”

Tidak sepertiku, Gaida adalah murid yang populer. Meski penampilannya biasa-biasa saja, senyum dan tingkahnya yang selalu positif membuat Gaida populer di sekolah. Apalagi, Gaida juga pintar. Membuat murid-murid lain selalu ingin berada di dekatnya.

“Hai Gai!”

“Sore kak Gaida!”

“Mau ke mana?”

Di sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah, murid-murid menyapa Gaida. Aku yang berjalan di sampingnya tidak dianggap sama sekali. Aura Gaida yang tinggi dan hawa keberadaanku yang rendah membuat aku diabaikan orang-orang.

Seandainya Gaida tidak mau berteman denganku, mungkin aku akan sendirian selamanya.

“Waaah, ada yang jual Crepes. Beli, yuk!” Gaida menunjuk mobil berwarna ungu yang sedang ramai dikerubungi anak-anak.

“Aku gak suka Crepes.”

Gaida menggembungkan pipi. “Crepes gak suka, aku gak suka, kamu sukanya apa sih?”

“Gak suka apa-apa.”

“Huuh.” Gaida masih menggembungkan pipi.

“Jangan sok imut.”

“Tauk ah!”

Gaida pergi meninggalkanku. Berjalan sendirian menuju mobil Crepes itu. Mengantri bersama anak-anak yang lain.

“Crepes nya enak banget ini! Kamu harus coba, ayo!” Gaida menyodorkan crepes itu ke depan mulutku.

Padahal dia baru saja marah, sekarang ekspresinya sudah kembali seperti biasa.

Dasar Gaida.

“Aku gak suka.” aku memalingkan wajah.

Aku dan Gaida lalu melanjutkan berjalan.

Rumah Gaida dekat dengan sekolah, tidak perlu menggunakan kendaraan umum untuk mencapainya. Rumahku pun searah dengannya, jadi kami berdua jalan sama-sama.

“Mmm… Gai.”

“Ya?” Gaida menoleh ke arahku dengan mulut yang belepotan dengan krim putih dari Crepes.

“Kita sahabatan selamanya, ya.”

Gaida mengangguk.

“Kamu gak keberatan?”

Gaida menggeleng.

“Kenapa?”

Setelah melahap potongan terakhir Crepes itu, Gaida berkata.

“Aku menganggap semua orang yang kusayangi sebagai sahabat. Ibuku sahabatku, ayahku sahabatku, kakakku sahabatku, begitupun dengan dirimu. Kita akan jadi sahabat selamanya.” Gaida tersenyum padaku.

“Lalu, kenapa kamu selalu ngajak aku pacaran?”

“Yaa, kamu kan Jones. Aku kasian sama kamu. Kayaknya gak ada deh yang mau pacaran sama kamu.”

Ucapan Gaida sungguh menusuk.

Diriku yang berada di langit karena selalu ditembak oleh sahabatku, langsung turun ke atas bumi. Ah, frasa macam apa ini.

Gaida bicara lagi. “Tapi, aku bersyukur karena kamu sudah meninggal. Dulu, saat kamu masih hidup, aku gak berani ngomong sama kamu. Kamu terlalu menyilaukan, bahkan menembus kacamataku.”

Aku berdecak. “Ya ampun, kamu ini jahat sekali. Masa aku meninggal kamu malah seneng? Gak enak loh jadi arwah gini. Gak bisa makan apa-apa.”

Gaida berhenti melangkah. Aku memandang wajahnya yang mulai menitikkan air mata. “Bodoh! Mana mungkin aku senang! Aku ini hanya berlagak kuat, tahu!”

“Iya iya, aku tahu.” aku mengelus kepala Gaida, namun tidak sampai.

Gaida menyeka air matanya, lalu bicara padaku. “Kapan kamu akan diangkat ke langit?”

“Sekarang hari Ke-33 arwahku berkeliaran di bumi. Kayaknya minggu depan, deh.”

Gaida menggeram. “Kalau begitu, ayo kita pacaran! Dari dulu aku sudah suka kamu. Tolong terima, ya. Waktumu udah gak banyak lagi.”

Aku tersenyum. “Jangan ah. Kita sahabatan aja selamanya.”

“Kenapa?”

Aku mengelus kepalanya lagi.

“Aku gak mau kamu punya mantan.”

Penulis : kripik_kun

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang