7. Ocean Education

402 13 2
                                    

Aku tidak pernah menyangka semua ini terjadi padaku.

Padahal, yang kuinginkan begitu sederhana. Akan tetapi, kenapa rasanya sangat sulit untuk dicapai?

Aku menyesal. Penyesalan selalu datang di akhir, dan sesuatu yang ada di akhir tidak akan pernah bisa diulang.

Dulu, aku terlalu menyepelekan pendidikan. Aku selalu malas datang ke sekolah. Aku mengabaikan semua hal yang bersangkutan dengan pelajaran sekolah. Yang kulakukan tiap harinya hanyalah bermalas-malasan.

Aku ingin menjadi perselancar, namun kedua orangtuaku menentang mimpiku. Aku yang merasa sakit hatipun melampiaskan kekesalanku kepada kehidupan.

Sejak dulu, aku berencana menabung dan kabur dari rumah. Aku sudah tidak tahan. Terus terkekang dalam peraturan orangtuaku membuatku muak. Aku seperti burung yang terkurung di dalam sangkar mewah.

Hingga saat aku mulai menjalankan rencanaku melarikan diri, musibah itu datang.

Waktu itu sedang hujan deras, namun dengan nekatnya aku tetap memaksakan diri untuk kabur dari rumah. Saat mengendarai sepeda motor, tiba-tiba saja ada sebuah pohon yang tumbang menimpaku. Aku terlalu terkejut, dan kejadian tersebut terlalu mendadak. Aku tewas dalam kecelakaan konyol itu.

Lalu, saat aku terbangun, aku sudah ada dalam wujud yang berbeda. Bagian bawah tubuhku yang seharusnya adalah sepasang kaki, kini berubah menjadi ekor ikan. Sisik kasar yang berkilau terlihat di sana. Saat itu aku merasa histeris. Kutatap sekitar, ternyata saat itu aku berada di bawah air.

Kupikir aku bermimpi. Namun nyatanya, semua itu nyata. Aku bernapas di dalam air, aku bereinkarnasi menjadi seorang manusia duyung.

Aku terlalu terkejut, tidak mengerti apa yang terjadi. Hingga ada seorabg manusia bersayap angsa muncul di hadapanku, dia adalah malaikat. Ia berkata, "kamu telah bereinkarnasi menjadi manusia duyung."

"Kenapa?" tanyaku heran, "Kenapa aku tidak pergi ke tempat yang seharusnya saja?"

"Karena amalmu tidak cukup untuk menembus pintu surga." Entah mengapa perkataan malaikat itu membuatku kesal. "Kalau kau mau pergi ke tempat yang seharusnya, carilah amal sebanyak mungkin di sini. Jika waktunya telah tiba, aku akan menjemputmu." Tepat setelah mengatakan itu, dia menghilang.

Aku berdecak sebal. Perasaanku campur aduk, antara kesal, marah, dan sedih.

Sekarang, aku mengerti definisi dari menyedal.

Aku berjalan--ah, tidak. Aku berenang menggunakam ekor yang menjadi pengganti kakiku, menelusuri lautan bebas yang memiliki keindahan tiada tara. Perutku terasa lapar, aku berharap menemukan sesuatu yang bisa dimakan.

Sempat terpikir untuk memakan ikan yang ada di sekitarku. Namun bagaimana caraku memasaknya?

Baru beberapa menit berenang, akhirnya aku memutuskan untuk merebahkan diriku di atas pasir dasar laut. Aku lelah dan kelaparan.

Saat masih hidup sebagai manusia dulu, aku tidak bisa berenang. Tubuhku selalu tenggelam saat aku masuk ke dalam air. Mungkin itu mengapa saat ini aku merasa begitu kelelahan meski hanya beberapa menit berenang.

Ah, seharusnya dulu aku mengikuti kelas berenang dengan sungguh-sungguh.

Perutku kembali berbunyi. Aku sudah tak tahan. Aku harus mengisi perutku dengan sesuatu!

Aku merangkak menggunakan tangan dan ekorku. Jangan tanya mengapa aku merangkak, karena aku sudah terlalu lelah untuk berenang. Tanganku terulur, meraih kerang yang ada di jangkauanku. Dulu aku sering makan kerang, jadi pasti kerang di sini bisa dimakan.

Namun saat aku membuka kerang, aku justru mendapati benda berbentuk bola kecil yang bersinar. Aku menatap heran. Bentuknya mirip seperti ... mutiara?

Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin ini makanan kerang yang biasa kumakan, namun versi mentahnya. Mana mungkin ada mutiara yang berasal dari kerang, 'kan?

Aku melahapnya. Namun, aku tersedak. Kerang tersebut begitu keras sampai tidak bisa tertelan olehku. Aku terbatuk-batuk, mencoba memuntahkan kerang tersebut.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu menghantam punggungku. Berkatnya, aku memuntahkan kerang yang sempat menyangkut di tenggorokanku. Entah aku harus senang atau kesal. Rasanya menyakitkan sekali!

"Kamu tidak apa-apa?"

Aku menoleh, mendapati seorang gadis yang sepertinya sepantaran denganku. Kupikir dia manusia, namun mengingat saat ini kami berada di dasar laut dan bisa berbicara, semua presepsiku itu runtuh. Apalagi gadis itu memiliki ekor. Dia pasti manusia duyung, sama sepertiku.

Aku mengangguk. "Terima kasih," ucapku, tersenyum pahit.

"Sama-sama," gadis itu tersenyum ramah. "Perkenalkan, aku Riva, dari desa duyung utara. Kalau kamu siapa?"

"Aku Reno," jawabku seadanya.

"Oh, begitu. Kamu pendatang baru, ya? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Dan ... maaf jika aku lancang, tapi kenapa kamu memakan mutiara?" tanya Reva bertubi-tubi.

Entah mengapa aku merasa malu. Ternyata benar, itu kerang mutiara. Sepertinya dulu pernah dibahas saat pelajaran biologi, namun waktu dulu aku justru lebih memilih tidur dari pada mendengarkan.

"Aku ... lapar," aku menunduk. "Aku lelah, aku tidak tahu harus bagaimana."

Reva tertegun. Dia diam sejenak, lalu menarik lenganku. "Kalau begitu, ayo ke desaku saja. Kebetulan, di rumahku masih ada kamar yang kosong. Kamu bisa tinggal di sana kalau mau."

"Eh?" Aku menengadahkan kepalaku, menatap terkejut. "Boleh?"

"Tentu saja boleh!" Reva tersenyum manis. "Kita 'kan sesama duyung, harus saling membantu, dong?"

Aku terharu, sungguh. Aku jadi teringat dengan kepribadianku yang dulu saat masih hidup sebagai manusia. Aku adalah anak yang egois dan selalu ingin menang sendiri, tidak pernah mau mendengarkan orang lain.

Bolehkah aku menyesal sekarang?

Reva mengajakku menuju desanya, dan dengan sangat terpaksa aku harus berenang lagi.

Reva, si gadis duyung itu mengajarkanku banyak hal yang selama ini kuabaikan. Dia mengajarkanku bagaimana caranya beretika, tentang pengetahuan umum, juga tentang cara bertahan hidup.

Reva mengajarkanku semua hal yang sudah kulewatkan. Baru sekarang, aku paham betapa pentingnya pendidikan. Tanpa pendidikan, mustahil bagiku bertahan hidup.

Di kehidupanku yang baru ini, aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi mengabaikan dan akan menganggap serius pendidikan. Karena aku tersadar, bahwa kemanapun aku pergi, dimanapun aku berada, pendidikan merupakan ilmu pertama untuk bertahan.

Aku tidak mau ada lagi yang namanya penyesalan. Aku tidak mau saat namaku terpanggil lagi aku tidak memiliki bekal apapun.

Aku sudah bertekad, jika sudah tiba saatnya untukku dipanggil ke hadapan sang kuasa, aku sudah membawa banyak ilmu untuk menjadi tiketku menembus pintu surga.

Dan sepertinya aku harus berterima kasih kepada Reva. Karena dia yang telah mengajarkanku semua hal tentang kehidupan baruku ini. Meski kehidupan manusia dengan kehidupan manusia duyung begitu berbeda, namun aku tetap akan berusaha untuk mengerti semua ini.

Mulai dari caraku berinteraksi dengan duyung lainnya, caraku berkeja keras mencari dana untuk memenuhi kebutuhan, hingga pengetahuanku tentang keadaan alam sekitar.

Aku sudah siap. Jika aku mati untuk kedua kalinya, sudah kupastikan tidak akan ada lagi penyesalan.

Karena aku telah siap dengan ilmu sebagai bekalku.

***END***

Penulis
VaraUser

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang