13. Ulang Tahun dan Phobia

239 14 0
                                    

10 januari 2009, terjadi kasus bunuh diri.
Seorang mahasiswi terjun dari gedung dengan ketinggian: kurang lebih 500 meter.
Seorang gadis berusia sekitar delapan tahunan, melihat kejadian itu secara langsung. Ketika polisi bertanya pada gadis kecil tersebut, ia jatuh pingsan.

🌵🌵🌵

Malam itu suasana di pasar malam begitu riuh. Anak-anak berlarian ke sana ke mari dengan lincahnya. Gita, nama gadis itu ikut mengantre di tempat pembelian tiket untuk membeli tiket menaiki wahana bianglala.

Tangan mungilnya begitu erat mengenggam pergelangan tangan ibunya. Ia begitu bersemangat ingin segera menaiki wahana itu. Baginya, itu sangatlah menarik. Bisa melihat pemandangan dari atas sangatlah "keren" baginya.

Setelah mendapatkan satu tiket, ia berlari menaiki salah satu tempat berbentuk seperti kandang burung itu, namun besar cukup untuk dua-tiga orang.

Akhirnya pintu sangkar ditutup, bianglala mulai berputar perlahan. Gita begitu sumringah dengan melihat orang-orang di bawahnya.

Bianglala perlahan mulai berputar lagi. Kini, jarak mereka dengan tanah sudah cukup jauh. Mata gita perlahan mulai blur, dadanya juta terasa sesak, seluruh tubuhnya bergetar. Pikiran-pikiran tentang mahasiswi yang bunuh diri itu terngiang-ngiang di kepalanya.

Perlahan ia mengeluarkan air matanya. Dari awalnya kecil hingga deras. Ibunya panik, melihat gadis kecilnya bertingkah seperti itu. Padahal, biasanya Gita tidak pernah seperti ini. Dengan sigap, ibunya langsung merangkul anaknya itu di pangkuannya. Tak berlapa lama, anaknya itu pingsan. Dengan reflek ia berteriak,

"Pak tolong turunkan kami. Anak saya pingsan!"

Pria yang menjalankan bianglala pun gelagapan. Ia menggaruk kepalanya. "Maaf, Bu. Tapi, ini wahana tidak bisa dihentikan terkecuali ibu sudah ada di tempat paling bawah."

Mendengar hal itu, membuat sang ibu kembali gusar. Ia tak tahu, apa yang harus ia lakukan. Ia hanya bisa berdoa, sembari melakukan pertolongan pertama dengan mengendurkan pakaian-pakaian ketat yang membalutnya.

Setelah menunggu lama, akhirnya mereka bisa turun. Si ibu dengan panik langsung berlari, memasuki mobil yang ia bawa. Segera, ia langsung membawa anaknya itu ke rumah sakit terdekat. Tak lupa, ia juga menelpon suaminya yang tengah bekerja lembur.

Ketika sampai di rumah sakit, dengan sigap ia kembali mengedong anaknya itu. Dan segera di bawa ke ruangan untuk diperiksa.

Beberapa menit menunggu, dokter pun akhirnya selesai memeriksa dan menemui si ibu yang sedang duduk menunggu.

"Bagaimana keadaannya, Dok?"

Dokter itu duduk di meja kerjanya. "Sepertinya, anak Ibu mengidap suatu phobia. Dan untuk sekarang masih ringan, tidak tahu ke depannya apakah akan menjadi lebih besar."

"Phobia? Phobia apa itu?"

"Begini saja, Bu. Apakah anak Ibu pernah punya trauma terjatuh dari ketinggian?"

"Tidak."

"Pernah melihat seseorang jatuh dari ketinggian?"

"Emm ... sepertinya pernah. Beberapa bulan yang lalu, ia melihat seseorang mahasiswi terjun dari gedung di depan matanya."

"Karena hal itu, mungkin saja anak ibu mengalami trauma sehingga sekarang mengidap phobia takut akan ketinggian (acrophobia). Sebaiknya, Ibu tidak membiarkan anaknya untuk naik tangga dan sesuatu yang tinggi lainnya, karena itu dapat memicu kesakitan yang hebat untuknya," jelas dokter itu panjang lebar.

Ibunya langsung menganga, menutup mulutnya, tersentak kaget. Benarkah itu terjadi pada anaknya? Itulah yang ia pikirkan sedari tadi.

Dengan berat hati, mau tidak mau Gita harus konsultasi pada dokter sekadar untuk terapi. Hal itu sangat berguna untuk phobia yang ia hadapi.

Cerpen 10 Days ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang