SEBELAS

15.9K 1K 25
                                    

Hari Senin, setelah semalam dirinya menjemput sang ibu di bandara dan sampai di rumah saat pukul sepuluh malam, Naya memutuskan untuk tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Alasan yang memang bisa dibenarkan, hatinya tidak dalam kondisi baik, hatinya yang tengah sakit. Hatinya tengah mengalami peradangan akibat ucapan tajam Sam yang menggores hatinya serta perlakuan sang Mama yang begitu dingin terhadap Naya.

Naya tidak menitipkan surat izin sakitnya pada Sam, karena ketika dirinya ke rumah Sam pagi tadi, cowok itu sudah tidak ada di rumah. Orang tua Sam bilang kalau cowok itu sudah berangkat karena mau menjemput Renata. Surat izinnya tersebut akhirnya Naya titipkan pada Toby, adik kelasnya yang masih kelas sepuluh, yang kebetulan tempat tinggalnya di sebelah rumah Naya.

"Ah, siang-siang gini enaknya ngapain ya?" gumam cewek itu seraya menatap kosong pada televisi di depannya. Sudah sejak pagi Naya menonton televisi. Namun dirinya sama sekali tidak terhibur. Perasaannya sangat tidak enak. Mood-nya benar-benar buruk.

Naya menelungkupkan badan yang tadinya berbaring menyamping di sofa. Kedua kakinya sudah bergantian memukuli sofa dengan keras. Begitu juga dengan kedua tangannya.

"Hati gue kenapa sih? Gue kenapa? Kenapa hari ini gue malas ngapa-ngapain? Kenapa rasanya gue males napas? Kenapa gue pengen mati?" keluhnya dengan kesal.

"Auw!!" Naya menjerit ketika merasakan pantatnya di tepuk dengan keras. Tubuhnya seketika ia tegakkan. Matanya membulat menangkap bayangan seseorang yang tengah berdiri di depannya seraya memasang wajah datar dengan tatapan tajam mengintimidasi.

"Heh mulutnya," kata orang itu dengan datarnya. Lalu mendudukkan diri di sebelah Naya. Naya masih mematung, ia masih terkejut dengan kehadiran Samudera di rumahnya. Ya, orang itu Samudera Archandra, sahabat paling lengketnya yang tinggal di seberang rumahnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Naya.

"Nemuin lo," jawabnya datar seraya meraih toples berisi keripik di depannya, Sam mengambil keripik itu lantas cowok itu masukkan ke dalam mulutnya sendiri.

"Buat apa?" Kini toples itu beralih ke tangan Naya. Naya tidak habis pikir, ini masih jam sekolah dan cowok itu masih dengan seragam yang melekat di tubuhnya serta tas yang masih setia menempel di punggung kokoknya itu, Sam tidak seharusnya ada di sini.

"Jenguk," jawabnya singkat. Naya berdecak.

"Lo bolos ya?" Samudera bergumam menjawab pertanyaan Naya. Tangannya meraih toples keripik itu, lalu kembali memakan isi di dalamnya.

"Ck, buat apa lo bolos? Nilai lo udah pas-pasan, udah kelas tiga loh kita, kalau kagak lulus gimana coba?" kesal Naya, meski terdengar cerewet namun itu adalah bentuk perhatian cewek tersebut terhadap sang sahabat. Sam tampak menggeleng tak acuh, terlihat malas untuk menjawab.

"Sam, dengerin gue, lo nggak bisa seenaknya kayak gini. Bolos itu bakal buat nilai kepribadian lo kurang, raport lo jelek. Nanti lo bakal ngecewain Mama lo," kata Naya dengan mimik yang serius.

Samudera menghentikan kunyahannya, hingga keripik yang sudah setengah halus itu tertahan di mulutnya. Cowok itu ikut menatap Naya dengan serius juga. Lantas melanjutkan aktivitas mengunyahnya, lalu ditelan saja hasil cernaan secara mekanik oleh gigi dan kimiawi oleh enzim amilase keripik itu.

"Gue males mau ngapa-ngapain kalau nggak ada lo. Semua cerewet, ngomong ini itu di deket gue. Gue risih. Tapi beda kalau lo yang cerewet. Temen-temen banyak, tapi gue masih ngerasa sepi. Gue nggak suka sekolah pas lo nggak ada." Sam menjatuhkan kepalanya di bahu Naya. Cowok itu berkata dengan nada yang begitu pelan seolah takut suaranya membangunkan bayi yang tengah tertidur jika bersuara terlalu keras.

"Lagian kenapa lo nggak kasih kabar gue kalau lo sakit? Katanya kemarin lo bakal jemput Mama lo pas siang, tapi kenapa malam baru pulang? Besoknya lo malah nggak masuk sekolah, terus Tante Risa ke mana? Kok sepi?" Tidak biasanya Sam banyak tanya. Naya hanya terdiam dengan pandangan menunduk. Lidahnya entah mengapa serasa kelu untuk diajak bicara. Kosa kata yang dirangkainya seolah berlari-larian tak mau ia genggam.

Naya menghela napasnya dengan berat. "Iya, pesawat Mama terpaksa delay semalam. Gue sama Pak Sapri terpaksa nunggu," jawabnya terpaksa berbohong.

"Kenapa nggak pulang aja lebih dulu? Lo kan bisa ikut acara ultah nyokap gue. Nggak enak juga kalau nggak ada lo, nggak ada asik-asiknya," kata Sam kemudian. Cowok itu menegakkan badannya kembali. Tatapan datarnya ia tujukan ke seluruh penjuru ruang yang tampak sepi.

"Terus?"

"Gue nggak masuk kan karena gue sakit," hati gue yang sakit. Dalam hati Naya melanjutkan. "Dan waktu tadi pagi gue ke rumah lo, tante bilang lo udah berangkat jemput pacar lo. Ya udah, akhirnya gue titipin Toby. Untungnya Toby belum berangkat, bisa-bisa alfa gue nambah hehe." Naya terkekeh di akhir kalimat. Sam mengerutkan keningnya, merasa ucapan sahabatnya itu tidak ada yang lucu.

"Gue barusan udah putus sama Renata."

"Eh?" Mata Naya membola terkejut. Yang benar saja? Baru kemarin ia tahu Sam dan Renata, yang ternyata adik kelasnya itu pacaran, sekarang tahu-tahu sudah putus.

"Renata terlalu posesif gue nggak suka. Masa dia suruh gue jauhin lo? Mana bisa?" Sam menatap Naya dengan dalam, Naya merasa canggung seketika, jantungnya berdebar tidak karuan. Sekuat tenaga Naya berusaha mengulas senyum di bibirnya hingga akhirnya ia mampu tersenyum dan menciptakan sebuah kekehan.

"Ngaco dia, udah nggak usah dipikirin. Mungkin karena dianya terlalu cinta sama lo. Kita kan nggak tahu perasaan orang. Bisa aja orang yang keliatannya nggak peduli sama kita, dia orang yang paling mengerti kita atau kadang, orang yang kita anggap nggak penting dia adalah bagian terpenting dalam hidup kita." Naya tersenyum menatap Sam yang masih menatapnya dengan dalam namun masih dengan ekspresi datarnya yang tidak menunjukkan apa pun.

"Ya ya terserah, tapi gue nggak suka sama cewek kayak gitu. Masih pacar aja suka ngatur-ngatur, gimana kalau udah lebih?" Naya tertawa. Perasaannya membaik mendapati Sam yang terkesan cerewet seperti sekarang. Ya, meski luka itu masih ada setidaknya ia terhibur. Ah, melihat Sam, Naya jadi teringat dengan robot-robotan cowok itu. Nanti saja kalau Sam pulang, ia akan memberikan hadiahnya itu.

"Udah putus juga, jangan diungkit dong. Tapi Renata cantik loh, manis juga."

"Cantik mukanya doang hatinya enggak. Terus, Mama lo?"

Naya tergeragap, "Ah itu ... Mama lagi ke Medan, kemarin pulang karena ada urusan di Medan. Pagi tadi tahu-tahu udah berangkat ke bandara." Mengingat Mamanya membuat Naya ingin menangis, tapi ia tidak mau terlihat lemah di depan Samudera.

"Padahal gue pengen ketemu."

"Kapan-kapan aja." Sam bergumam, lantas kembali memakan keripik yang ada di toples tadi. Entah mengapa Naya merasa sedikit janggal melihat Sam memakan keripik itu.

"Kenapa ya?" Gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar dan memang hanya Naya sendiri yang mendengar pertanyaan itu.

TBC

Future BoyfriendWhere stories live. Discover now