ENAMBELAS

16.3K 1K 30
                                    

Sam sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah benar-benar membaik ketika terakhir kali dokter memeriksanya. Sam langsung meminta pulang saat itu juga.

"Enaknya nggak cium bau rumah sakit," kata cowok itu. Kini mereka sudah berada di dalam taksi, dalam perjalanan pulang. Naya hanya menganggukkan kepala.

Cewek itu masih teringat dengan percakapannya bersama Sam semalam, mengenai luka di lengannya. Sam memang tidak banyak bertanya setelah ia menjawab bahwa itu bukanlah luka apa-apa yang wajib dikhawatirkan. Namun, meski begitu sesekali ia dapat melihat Sam yang melirik lengannya, seperti tengah mencari-cari kebenaran dari perkataannya semalam. Seperti, apakah benar luka di tangan sahabatnya itu hanya goresan tipis? Atau apakah lukanya sudah mulai sembuh? Karena tingkah Sam itulah, Naya berusaha tidak membuat lengan bajunya tersingsih.

"Nay, lo dapat telepon atau SMS dari nyokap bokap gue nggak?" Naya mengerjap sekilas, lantas menggeleng tidak mengerti. Pikiran Naya sedang tidak ada di tempat. Banyak hal yang menghantui pikiran cewek itu.

"Lo lagi ada masalah? Dari tadi gue lihat lo murung aja, biasanya itu bibir nggak ada capeknya senyum." Sam berkata seraya memakan hamburger di tangannya. Tadi, mereka memang sempat mampir di restoran cepat saji. Tapi mereka tidak makan di sana, melainkan membeli untuk dibawa pulang.

Jatah hamburger Naya sudah habis. Tapi bukan Naya yang menghabiskan melainkan sahabatnya itu. Naya juga tidak masalah memberi jatahnya pada Sam. Baginya, apa sih yang tidak untuk orang yang diam-diam dicintainya itu? Ya, Kanaya Sarasvati memang sebucin itu. Sam bilang dirinya sudah lama tidak merasakan lezatnya makanan, kasihan perutnya yang terus-terusan mendapat bubur rumah sakit yang rasanya hambar. Bahkan menurut cowok itu seperti rasa muntahan. Benar-benar tidak emak.

Hal itu kemudian membuat Samudera Archandra berpikir keras. Rumah sakit tentu saja beroperasi karena membutuhkan uang. Maka dari itu pemasukan pasti berbanding lurus dengan jumlah pengunjung----dalam hal ini tentu saja pasien----yang masuk. Semakin banyak pasien maka semakin banyak pemasukan yang di dapat. Oleh karena itu, harusnya rumah sakit memberi pelayanan yang tingkat tinggi agar pasiennya betah. Seperti makanannya yang bubur rasa muntahan itu diganti dengan makanan lezat seperti yang ada di restoran-restoran mahal, minimal pizza atau spageti. Di setiap kamarnya diberi kamar mandi pribadi dengan dilengkapi bath up dan shower. Tidak hanya itu saja, setiap ruang juga harus diberi AC, kasurnya yang empuk, ada kulkasnya juga. Kalau begitu, sudah pasti para pasien betah kan?

"Nay, kok gue curiga ya, di rumah sakit banyak orang sakit itu pasti dido'ain dari rumah sakit supaya pemasukannya gede." Begitu kata Sam beberapa menit yang lalu ketika mereka berdua mau memasuki salah satu restoran cepat saji.

"Sembarang itu mulut. Ya kali. Jangan su'udzon. Dosa kamu teh," balas Naya saat itu.

Kembali ke masa sekarang, Samudera tampak melambai-lambaikan tangan kirinya yang bebas memegang burger ke depan wajah Kanaya. Kanaya mengerjap. Lalu berdecak kesal, karena aktivitas melamunnya terganggu.

"Sejak kapan lo jadi cerewet sih? Gue mau senyum kek, enggak kek. Serah gue dong." Naya membalasnya dengan nada yang jelas tersirat kekesalan di dalamnya. Sam sampai bergidik.

"Duh, jangan sadis-sadis dong, dedek kan jadi atut," kata cowok itu yang kemudian disusul gelak tawa.

Naya jadi heran, apa demam Sam yang kemarin itu karena proses masuknya setan gila ke dalam raga sang sahabat? Makanya sekarang sahabatnya tersebut tertawa cekikikan padahal menurutnya tidak ada yang lucu.

"Apasih? Gaje." Naya bersedekap dada, memilih melarikan pandangannya pada luar jendela mobil dan menatap jejeran gedung-gedung tinggi. Di depannya, supir taksi online yang Naya pesan tampak tersenyum geli. Spion di dalam mobil itu yang membuat Naya tahu.

"Lo kali yang gaje. Orang gue tanya emak bapak gue ada ngomong ke lo apa enggak. Eh lonya nggak jawab," sewot Samudera.

"Ck, sori. Tadi Tante Enji sempat bilang kalau hari ini belum bisa pulang, Nenek lo kondisinya drop. Lo disuruh nyusul." Sam bergumam.

Pikiran remaja tanggung itu langsung tertuju pada Neneknya dengan rambut beruban, tubuh tambun yang senantiasa duduk di kursi roda. Ketika ia pergi ke Bandung untuk berkunjung, ia selalu mendapati tatapan tajam dari neneknya itu. Sam tidak pernah menyukai nenek dari sang Papa. Menurutnya, Neneknya tersebut terlalu pelit, bahkan ketika ia kecil dulu, ia pernah minta es krim, dengan kejamnya ia malah mendapat pukulan di pantatnya. Lain halnya dengan cucu Nenek yang lain, dengan suka hati mereka dibelikan. Sampai kini Sam masih dendam, kalaupun neneknya itu meninggal, ya meninggal saja, ia tidak akan peduli dan tidak akan menjenguknya juga.

"Gue udah bilang kalau keadaan lo udah oke, dan lo udah dibolehin balik. Lo mau ke Bandung nggak? Kalau iya, ya udah, besok gue buatin surat izin." Naya memandangi Sam yang terlihat acuh dan meneruskan acara memakannya itu.

Naya menunggu sampai Sam menelan makanan yang sudah dicerna secara mekanik oleh gigi dan kimiawi oleh enzim amilasi di mulutnya.

"Nggak. Males." Dan inilah Samudera Archandra yang asli. Irit bicara dan selalu malas.

"Kenapa?" Naya bertanya heran.

"Dih, dia itu tokoh antagonis di hidup gue. Gue males." Sam menjawabnya dengan sinis. Entah sinis karena Naya yang terlalu kepo atau sinis pada orang yang cowok itu maksud.

Naya beroh ria. "Gitu-gitu juga nenek lo, kalau nggak ada beliau, lo nggak bakal ada kali."

"Hm." Pembicaraan mereka diakhiri gumaman oleh Sam. Naya yang aslinya juga malas berbicara memilih diam dan memejamkan mata. Menikmati kemacetan Jakarta yang sudah menjadi kebiasaan penghuni Ibu kota itu.

TBC

Future BoyfriendOù les histoires vivent. Découvrez maintenant