DUABELAS

15.7K 1K 20
                                    

Cahaya matahari sore yang mulai kembali ke peraduannya masuk ke dalam kamar Naya melalui celah jendela yang tidak tertutupi gorden. Cewek itu tampak berdiri seraya memegangi ponselnya dengan tatapan sendu. Dengkusan keluar dari mulutnya, lantas dilemparnya dengan asal Iphone itu tanpa takut bahwa ponsel mahalnya tersebut akan rusak.

Naya berniat menghubungi mamanya, bertanya kapan beliau akan pulang, perihal kabar, dan juga pekerjaan mamanya. Tidak lupa ia ingin memberi nasihat untuk sang Mama agar tidak terlalu memforsir tenaganya dalam bekerja.

Namun, jangankan bisa mengatakan nasihatnya. Bertanya kabar saja belum sempat. Di sambungan pertama ketika teleponnya diangkat saja, malah kata-kata yang kurang pantas yang Mama Naya lontarkan.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Naya kala itu.

"Halo, ada yang bisa saya bantu? Dengan siapa ini?" Suara dari seberang menyahut Naya dengan lembut dan ramah, terdengar mendayu membuat siapa saja yang mendengarnya pasti merasa tenang. Begitu juga dengan Naya. Suara itu adalah suara yang sangat ia rindukan. Sudah lama, bahkan Naya tidak ingat kapan terakhir mamanya berkata dengan suara selembut itu terhadap ia.

Awalnya Naya senang namun kesenangan cewek itu tidak berlangsung lama setelah menyadari ucapan sang Mama yang mempertanyakan siapa dirinya.

Mama nggak nyimpen nomor gue ya? Batinnya bersuara.

"Halo? Maaf, dengan siapa ini? Saya tidak pernah menyimpan nomor Anda. Jadi maaf kalau saya tidak tahu Anda siapa. Maaf kalau tidak penting akan saya tutup. Anda bisa menghubungi saya lagi nanti." Suara di seberang sana masih menyahut dengan lembut.

Naya menarik napas, merasa sedih karena ternyata nomor ponselnya tidak disimpan oleh sang ibu. Pantas saja ketika mamanya mau pulang kemarin, bukan nomornya yang dihubungi, melainkan nomor rumah. Ah, miris sekali hidupnya.

"Ini Naya, Ma. Gimana kab---"

"Oh kamu. Saya kira siapa. Untuk apa kamu menelepon saya? Uang yang tadi pagi saya kasih sudah habis? Nanti saya transfer lagi. Jangan hubungi saya, saya tidak ada waktu melayani orang seperti kamu. Pekerjaan saya banyak," katanya memotong ucapan sang putri. Suara lembut mendayu tadi sudah berganti menjadi suara tanpa intonasi yang malah terdengar ketus.

Naya tersenyum dalam tangisnya ketika mendengar sambungan telah terputus menyisakan bunyi 'tut' yang panjang. Diusapnya titik air yang keluar, tawa miris mulai mengalun. Membuat siapa pun yang mendengar pasti merasa teriris.

"Gimana kabar Mama? Naya cuma mau tanya itu." Naya bergumam lirih diakhiri dengan dirinya yang melempar ponselnya tadi.

Naya menggigit bibirnya dalam-dalam, mengingat perkataan Mamanya itu. Rasa ingin mengakhiri hidupnya kembali muncul. Naya berusaha menahan diri. Tidak untuk kali ini, lukanya yang kemarin belum kering, ia tidak bisa membuat luka baru. Dia hanya ... harus bertahan sedikit lebih lama. Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan. Mungkin setelah semuanya selesai ia bisa mengakhiri semuanya.

***

Matahari telah benar-benar kembali ke peraduannya. Digantikan rembulan yang tampak tersenyum cantik, mungkin karena ditemani oleh banyak bintang yang dengan tidak tahu malunya berkedip-kedip pada setiap orang yang melihat. Menggoda orang-orang itu memperhatikannya lebih lama. Malam itu langit memang sangat cerah, nyaris tidak terlihat gelungan awan yang menghiasi langit malam. Mungkin saat ini banyak orang yang sedang melihat keindahan langit.

Naya adalah salah satu orang yang tidak tergoda untuk melihat kerlap-kerlip bintang serta senyum manis rembulan. Cewek itu telalu sibuk mengobati hatinya dengan kata-kata hiburan yang ia ucapkan dalam hati. Senyum sudah menghiasi wajahnya, dilihat dari luar Naya sudah terlihat baik-baik saja.

Namun, untuk hatinya siapa yang tahu?

Netra Naya tampak fokus memandangi kotak yang dibungkus seperti kado di pojok kamarnya itu, dagunya ia topang. Isi kotak itu adalah robot Doraemon yang Naya niatkan untuk diberikan pada Samudera tempo lalu.

"Apa gue kasih itu robot ke Sam sekarang aja ya?" Naya bergumam sambil melingkin lengan kemejanya, membuat plester luka serta bekas-bekas luka Naya terlihat dengan jelas.

Naya merasa hubungannya dengan Sam sudah membaik, meski sahabatnya itu sama sekali tak mengucap maaf. Lagipula, bagi Naya, asal Sam sudah berlaku baik dan sedikit memperhatikannya itu sudah lebih dari cukup. Sam memang cuek, tidak peka, jadi Naya menganggap wajar kalau Sam merasa tidak bersalah. Ya, sebaik itu Naya menganggap apa yang sahabatnya lakukan, kata-kata menyakitkan sahabatnya sebagai hal biasa, meski jauh dalam lubuk hatinya sakit itu jelas masih terasa.

Perkataan meski tidak ada wujudnya tapi bisa saja lebih tajam dari pisau. Luka yang didapat dari goresan atau bahkan tusukkan oleh tajamnya perkataan tidak akan pernah bisa dilupakan rasanya. Setiap kata itu teringat, maka sakit itu akan terasa. Lain halnya luka yang diperoleh dari pisau, di awal mungkin teramat sakit, tapi seiring berjalannya waktu, manusia pasti melupakan bagaimana sakitnya. Maka dari itu, memang sangat penting untuk menjaga setiap perkataan yang akan diucapkan.

Ponselnya berbunyi, Naya segera meraih dan mengeceknya. Siapa tahu ia mendapat pesan dari sang Mama.

Naya mendesah kecewa, ternyata itu hanya notifikasi pemberitahuan bahwa ada sejumlah uang yang dikirim ke rekeningnya. Naya tahu itu uang yang ditransfer oleh sang Mama. Naya sangat kecewa, ia tidak pernah menginginkan tumpukan uang yang bahkan sangat jarang ia gunakan untuk membeli sesuatu tersebut. Uang sejumlah sepuluh juta yang tadi pagi Mamanya beri saja masih utuh, Mama sudah mengirimi dirinya uang dengan nominal yang sama lagi.

Jujur saja, Naya tidak membutuhkan itu, Naya lebih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.

"Besok gue sumbangin aja deh, bingung juga uang sebanyak ini buat apa." Naya bergumam, lantas segera mengantongi ponselnya dan segera bangkit mengambil kotak kado itu.

Rencananya Naya akan memberikan kotak itu pada Sam hari ini juga. Terlalu lama juga tidak baik kan?

TBC

Future BoyfriendWhere stories live. Discover now