Meeting Him

829 44 6
                                    

Hi the readers. Before reading my story, don't forget to vote first by click the starnya ya... okey 😉.

Selamat membaca. Luv luv luv 😘

***

Sepanjang perjalanan, kami hanya diliputi keheningan. Aku tidak tau harus membicarakan apa dan juga tidak berani untuk membuka suara duluan. Begitu pula dengan dirinya yang hanya diam dan fokus menyetir.

This atmosphere is very awkward.

Aku menatap jalan raya dan sesekali menatapnya. Semakin kuperhatikan semakin kusadari rupanya. Dia sangat tampan. Dia mengenakan t-shirt putih yang dilapisi dengan jaket kulit hitam dan dipadu dengan celana jins.

"Apakah wajah gue ganteng, Cel?" Pertanyaannya membuatku malu sekaligus memecahkan keheningan yang terjadi sejak kami berangkat.

"Mungkin." ucapku acuh. Aku sangat malu karena tertangkap basah sedang memperhatikannya. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela mobil dan melihat jalanan kota Jakarta dan kendaran yang berlalu lalang.

Aku memperhatikan jalanan yang kami lalui dan aku semakin familiar dengan kemana dia akan membawaku. Sepertinya dia membawaku ke daerah Jakarta Selatan.

"By the way, you live in apartment?" tanyanya. "Ya, I live there." jawabku jujur. "Your family too?" Aku menengokkan kepala menatapnya. "No, only me."

Dickson mengerutkan keningnya. "I live there because it's near the office and my family stayed at home." ujarku. "Oh I see."

"Trus yang masalah kemarin gimana? Boss lu marah gak? " Aku terkekeh lalu menjawab "Enggak." Dickson bernapas lega "Syukur deh."

"Tenang aja, boss gue gak mungkin marah karena gue sama dia temenan." ujarku. "Hah?! Temenan?" Dickson menampilkan ekspresi kaget sekaligus bingung. "Ya, my boss is my friend's boyfriend." Dickson menatapku tidak percaya "Really?"

Aku menjawab dengan dehaman sambil mengangguk. "Bisa gitu ya." ujar Dickson dan aku tertawa kecil melihatnya yang baru mengetahui hal ini. Akhirnya suasana di dalam mobil tidak awkward lagi dan aku mulai menikmati perbincangan ini.

"Kerja rasanya gimana?" tanyanya. "Ya gitu deh, pasti lu tau dong kalau orang baru kerja kayak gimana." Aku mengusap tengkukku. "Iya, apalagi kalau bossnya pelit." tambahnya. "Boss mana ada yang enggak pelit. Jangankan boss, kita aja kadang suka pelit" ujarku dan Dickson terkekeh.

"How about you?"

"Just like you." jawabnya sambil menatapku ketika mobil berhenti karena lampu merah.
"Gue harus belajar sabar hadapin pembeli apalagi kayak lu." lanjutnya lalu melajukan mobilnya ketika lampu merah berganti menjadi lampu hijau. "Like me?" ulangku mengerutkan kening. Apa maksudnya harus sabar menghadapi pembeli sepertiku? Memangnya aku kenapa?

"Iya, suka marah-marah." Jawabannya membuatu mendengus kesal. Marah-marah? Aku gak pernah marah-marah sama dia. "When am I angry?" tanyaku sambil mengangkat kepala. "Cappuccino spill." jawabnya. Ya ampun ternyata itu? Aku bukan marah-marah tapi kesal karena sudah dua kali terkena tumpahan.

"I'm not angry but I'm upset." ucapku lalu memalingkan kepala ke arah jendela. "But it's all the same." ujarnya. "Whatever." balasku dongkol.

"Ya ngambek, nanti cantiknya hilang loh." ucap Dickson. Aku langsung menatapnya dan dia juga menatapku sambil tersenyum lalu menatap lagi ke depan. "Cie blushing." Aku memelototkan mataku lalu memukul tanganya "Ish! Apaan sih lo, gak jelas! Gue gak blushing kok."

Aku menyentuh kedua pipiku. Sama sekali tidak panas, berarti tidak blushing. Lalu aku tersenyum menyeringai dan melipat tanganku di dada menunjukkan bahwa yang diucapkannya tidak benar.

"Cel, lu betah ya di mobil gue? Kita udah sampe tau." tanya Dickson menahan tawa. "Hah?" Aku celingak-celinguk. Ternyata kami sudah sampai di salah satu restoran yang berada di tengah gedung-gedung tinggi di Jakarta Selatan. Kok aku tidak sadar ya kalau mobilnya berhenti?

Dickson langsung tertawa dengan kencang "Blushing jadi gak fokus kan." Aku menatapnya sebal lalu dia mematikan mesin mobil. Pantesan saja aku tidak sadar kalau mobilnya sudah terparkir, mesinnya saja belom dimatiin.

"Atau udah laper jadinya gak fokus?"

"DICKSON!!!" Aku berteriak kesal dan langusng keluar dari mobil karena dia masih saja menertawaiku. Lalu dia juga ikut keluar dan menghampiriku "Udah laper kan?"

Aku tidak menjawabnya melainkan masih menatapnya sebal. Tapi tiba-tiba aku kaget karena tangan kiriku digenggam dan ditarik pelan olehnya. "Sorry. Please don't cranky, but you look cute. Ayo kita masuk, gue udah laper."

Aku melihat tanganku yang di genggam olehnya sambil berjalan masuk ke dalam restoran. Rasanya aku tidak terkendali, ingin melepaskan tapi tidak bisa. Tangannya terasa hangat. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat wajahnya dari samping. Dia hanya terseyum ke depan. Apakah dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan? Tapi kenapa aku juga tidak bisa menggerakkan tangan kiriku? Aku mengayunkan tangan kananku ke atas dan menyentuh dada kiriku untuk merasakan degup jantungku. Degupnya lebih cepat dari biasanya. What happen to me?

Cepat banget. Plis balik ke normal, jangan sampe kedengeran sama dia. Kataku dalam hati sambil menggigit bibir.

Setelah sampai di meja yang kosong, aku dan Dickson duduk berhadap-hadapan. Salah satu pelayan datang dan memberi kami buku menu. "Pesen apa aja, Cel. Kalau bisa makan yang banyak sampai kenyang supaya lu fokus." ucap Dickson sambil tersenyum jahil. "Ck! Mulai deh." Aku berdecak sebal lalu membuka buku menu untuk memilih makanan yang ingin aku makan.

Aku dan Dickson makan malam di salah satu restoran yang cukup mewah di Jakarta Selatan. Makan malam kami banyak diselingi oleh obrolan. Kami hanya membicarakan seputar kegiatan kami sehari-hari. Dickson orangnya enak di ajak ngobrol, terkadang dia suka membuatku tertawa dengan leluconnya. Dan sedikit demi sedikit aku mulai mengetahui tentang dirinya, kesehariannya, kerjaannya di café, termasuk kebiasaannya.

Kami sudah selesai makan dan aku sedang meminum jus alpukat pesananku. Dickson meminta bill kepada pelayan untuk membayar lalu setelah membayar dia berkata "Cel, habis ini gue mau ajak lu nonton." Aku meletakkan gelas alpukatku di meja "Oke. Udah pesen tiketnya?" Dickson mengangguk sebagai jawabannya.

"Film apa?" tanyaku lagi lalu mengambil tisu dan mengelap mulutku. "Charlie's Angels." jawabnya dan aku mengangguk-anggukkan kepala. "Lu suka gak? Kalau gak suka kita gak usah nonton." tanyanya. "Jangan dong, sayang kalau tiketnya kebuang. Gue udah nonton trailernya, gue suka kok sama filmnya." ujarku. "Oke deh. Yaudah yuk jalan, takut nanti telat." Kami berdua beranjak dari kursi lalu keluar dari restoran.

"Memang lu pesen yang jam berapa?" tanyaku ketika sudah masuk ke dalam mobil. "40 menit lagi sih udah mulai." jawabnya lalu menyalakan mesin mobil dan keluar dari parkiran. "Masih keburu." ucapku dan dijawab dehaman olehnya.

Ternyata pintu teater sudah di buka ketika kami baru sampai di lantai teratas salah satu mall yang tidak jauh dari restoran. "Cel, lu mau beli popcorn atau minum dulu gak?" tanyanya. "No, thanks. Gue udah kenyang." jawabku lalu kami berdua langsung masuk ke dalam teater, untung saja kami tidak telat karena film belom di mulai.

10 menit kemudian lampu teater dimatikan dan film pun dimulai. Kami berdua tidak mengeluarkan suara sama sekali. Aku menyandarkan tubuhku di kursi dan menikmati film yang aku tonton.

Pada saat ditengah-tengah film, aku merasakan ada yang memperhatikanku. Aku merasa yang memperhatikanku adalah Dickson. Awalnya aku tidak peduli tapi lama-kelamaan aku jadi merasa risih. Aku menengok ke kiri karena dia duduk di sebelah kiriku. Dan ternyata dia masih menatapku. Aku bisa melihat sedikit wajahnya yang terkenal pantulan cahaya film. Tatapannya sama sekali tidak terlihat kaget karena ketahuan olehku melainkan tatapannya sangat tenang. Kami berdua saling diam dan saling menatap satu sama lain. Cukup lama kami dalam posisi seperti ini sampai akhirnya aku tidak tahan ditatap terus olehnya dan berkata dengan suara pelan "Why?"

"You look beautiful tonight."

CAPPUCCINO Where stories live. Discover now