Lie

467 26 3
                                    

Hai the readers. Before reading my story, don't forget to vote first by click the starnya ya... okey 😉.

Selamat membaca. Luv luv luv 😘

***

Derrick: Cel

Derrick: Gimana perusahaan?

Cecilia: Everything is fine, gue dan Agnes bisa mengatasinya.

Derrick: Good 👍

Cecilia: Gaji gue naik ya... 😝

Derrick: Iya bawel

Cecilia: Tengkyu bosskyu

Aku terkikik geli melihat chatku dengan Derrick. Aku dan Agnes memang merahasiakan jika kami adalah karyawan yang mendapat tugas dari boss untuk memantau perusahaan seperti menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan boss, interview karyawan baru, dan mengurus proposal-proposal yang harus ditanda tangani oleh boss, itu semua sudah kami atur tanpa sepengetahuan karyawan yang lain. Tidak hanya kami berdua tapi kami juga dibantu oleh dua orang laki-laki, ya bisa dibilang dia adalah kaki tangannya boss.

Proses ini hanya berlangsung sampai satu bulan, karena awal bulan depan Dickson akan kembali ke sini. Walau terkadang ada satu atau dua hari lembur, aku bisa menghandle semua pekerjaanku dengan baik. Walau tubuh lelah dan otak penat, selalu ada Dickson yang membawakan cappuccino hangat. Dan pastinya untuk gaji aku dan Agnes bulan ini lebih karena mendapatkan bonus dari boss. Naik 1 juta tidak apa-apa. Aku akan sangat berterima kasih karena bagiku nominal tidak masalah yang penting gaji naik. Senangnya.

Tok... Tok... Tok...

Bunyi pintu ruanganku diketuk dan tampaklah James memasuki ruanganku.

"Cel, nanti pulang mampir nongkrong yuk sama Nissa!"

Aku langsung memasang raut menyesal "Yah, gue gak bisa ikut. Nanti pulang gue mau beli tas. Sorry ya, James."

Aku memang memilki pergi ke mall untuk membeli tas setelah pulang kerja. Aku mulai bosan dengan tasku ini dan ingin membeli model yang baru. Lagipula tas kerjaku hanya ada satu, tidak masalah jika aku membeli lagi untuk dipakai ganti-gantian.

James tersenyum tipis "It's oke, Cel. Gue pergi sama Nissa aja." Aku mengangguk lalu meminta maaf lagi kepada James dan dia menjawab gapapa lalu keluar dari ruanganku.

***

Aku sudah sampai di salah satu mall di daerah Jakarta Selatan. Aku mendatangi mall yang sama ketika aku pergi jalan-jalan dengan Dickson. Kembali ke sini aku jadi mengingat adegan cokelat waktu itu, adegan yang masih membekas di pikiranku. Kenapa sih Dickson selalu terbayang-bayang di pikiranku? Aku benar-benar tidak sabar untuk memberitahunya tentang perasaanku padanya.

Aku memasuki salah satu toko. Toko ini adalah toko yang juga aku dan Dickson masuki, dimana dia membelikanku stilleto berwarna putih. Toko ini tidak hanya menjual sepatu tetapi juga menjual tas. Aku melihat-lihat tas yang dipajang di lemari kaca sampai akhirnya mataku menangkap salah satu tas berwarna abu-abu.

"Mba, aku mau lihat tas yang itu dong." ucapku kepada salah satu karyawan sambil menunjuk tas abu-abu itu yang terpajang di lemari kaca bagian atas. Karyawan tersebut mengambilkan tas itu lalu memberikannya kepadaku.

Tas abu-abu ini sangat cantik dan terbuat dari kulit. Tas ini bisa dijinjing dan juga bisa dislempang. Ukurannya juga tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, cocok dipakai untuk bekerja dan ukurannya juga hampir sama dengan tas yang sedang aku pakai saat ini sehingga tas abu-abu ini juga muat untuk aku masuki handphone, dompet, charger, tisu dan barang-barangku yang lain yang biasanya ada di dalam tasku.

Sepertinya aku akan membeli tas ini. Memang pilihan pertama selalu yang terbaik. Aku mulai mencoba menyelempangkan tasnya dipundakku lalu bercermin.

"Mbak selain warna abu-abu ada warna lain gak?" tanyaku yang masih bercermin. "Ada kak, warna hitam. Tas ini hanya ada 2 varian warna, abu-abu dan hitam." jawabnya dan aku ber oh. "Mau saya ambilkan kak?" tanyanya dan aku langsung menggeleng. "Enggak usah, aku mau yang warna abu-abu aja. Tapi aku minta barunya ya, aku gak mau yang di display." ujarku sambil mengembalikkan tas yang aku coba kepada karyawan tersebut.

Aku tidak ingin membeli tas warna hitam karena tas yang sedang aku pakai sekarang warnanya hitam. Aku ingin mencoba memakai tas yang lebih berwarna walaupun memang semua warna hitam cocok dipadukan dengan apa saja. Tapi menurutku itu sudah kuno. Sekarang sudah banyak fashion dengan baju dan tas yang tidak kontras tetapi masih terlihat cantik dan tidak norak.

"Makasih." ucapku ketika selesai transaksi sambil menerima paper bag berisi tas abu-abu yang sekarang sudah menjadi milikku. Besok pergi kerja aku akan langsung memakainya.

Tidak tau kenapa aku selalu merasa senang dan bangga jika membeli sesuatu dari hasil jeripayahku sendiri. Karena dengan begitu aku akan belajar bahwa untuk mendapat sesuatu itu tidak mudah, butuh perjuangan dan proses. Aku harus bekerja dulu lalu mendapatkan gaji baru bisa membeli sesuatu yang kuinginkan. Dan dari situlah aku juga belajar untuk menghargai setiap pengeluaran yang ada serta belajar untuk menghemat.

Dengan senang dan semangat, aku menenteng paper bag sambil berjalan keluar. Ketika aku keluar dari toko tersebut, aku langsung menghentikan langkah kakiku. Aku melihat dua orang berjalan keluar dari toko tas yang berbeda yang berjarak 10 meter dari aku berdiri.

Aku langsung menutup mulutku. Aku kaget dan tidak menyangka dengan apa yang aku lihat. Dickson berjalan merangkul seorang perempuan berambut hitam sebahu dan mereka tertawa bersama. Aku tidak salah lihat. Laki-laki itu benar-benar Dickson, aku mengenali wajahnya, tingginya, dan model rambutnya juga sama. Dickson tidak menyadari adanya aku karena mereka berjalan membelakangiku.

Tanpa sadar, air mataku jatuh menetes. Hatiku terasa sakit serasa di tusuk dengan pisau melihat dua orang itu. Tubuhku bergetar tapi tidak terisak, aku masih shock dan kakiku terasa lemas untuk berjalan. Ingin rasanya aku berteriak kencang memanggil namanya. Ingin rasanya aku berlari menghampirinya dan meminta penjelasan darinya, tetapi aku tidak bisa, lagipula juga tidak mungkin karena sudah pasti aku akan menjadi tontonan para pengunjung mall.

Aku mengepalkan tanganku dengan erat dan menatap mereka dengan raut wajah marah dan kesal terlebih kepada Dickson. Aku memilih berbalik lalu berjalan cepat keluar dari mall. Padalah setelah membeli tas, aku berencana untuk mampir makan malam disini, tapi moodku sudah hilang dan aku memutuskan untuk makan di apartemen saja. Aku tidak mau sampai bertemu dengannya, aku hanya ingin cepat pulang. Dickson Nathaniel Devin seorang pembohong. Dia berbohong. Dia membohongiku. Semuanya bohong. 

CAPPUCCINO Where stories live. Discover now