6

3.4K 436 115
                                    

Seharusnya aku bisa menahan egoku kala itu, sehingga kalimat 'aku membutuhkanmu' bisa terucap dari mulutku dengan tulus.

Sekarang aku hanya bisa menyesal.

Aku membutuhkanmu, Lee Jihoon.

***

Bintang pada malam ini tengah merudup. Sinarnya tak secerah hari-hari sebelumnya. Rembulan pun turut serta dalam hal meredupkan sinarnya. Setiap angin yang berhembus malam itu menerbangkan asa yang setiap individu miliki. Rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi sedikit demi sedikit. Bunyi air yang membentur atap pun terdengar begitu nyaring di telinga Jihoon. Suara rintik hujan itu adalah satu-satunya suara yang bisa memecahkan keheningan di antara dua insan yang kini berada di sebuah kamar yang diselimuti dengan sejuta rasa yang tidak dapat diartikan.

Jihoon yang kala itu tengah duduk di pinggir ranjang seraya mengobati luka Soonyoung yang belum pulih itu hanya bisa diam. Manik indah itu kehilangan sinarnya. Asa yang ia tanam berbalut dengan luka. Berharap dan hanya berharap yang ia bisa. Segala macam pengharapan yang terwujud lengkap dengan luka yang diterimanya. Harapannya untuk membuat Soonyoung bahagia dan tersenyum selalu pun bisa terwujud, namun bukan ia penyebab dari senyum itu. Berkali-kali sebuah senyuman Jihoon torehkan guna menutup luka yang meradang. Berkali-kali pula Jihoon enggan mengakui bahwa dirinya terluka dalam hubungan ini. Alih-alih menyebutkan kalimat 'aku tersakiti', kalimat 'aku tidak apa-apa' selalu meluncur dengan mulus dari bibir Jihoon. Lengkap dengan senyuman yang ia torehkan sesudahnya.

Hingga sebuah akhir yang tidak diinginkan pun Jihoon pilih semata-mata untuk melihat Soonyoung bahagia. Pilihan yang sebenarnya tidak Jihoon harapkan. Pilihan yang sebenarnya tidak ingin Jihoon katakan. Namun, jika berpisah bisa membuat Soonyoung bahagia, maka akan ia lakukan.

"Kau tersakiti..." lirih Soonyoung tepat saat Jihoon selesai mengobatinya.

"Maksudmu?"

"Kau tersakiti dan aku penyebabnya," balas Soonyoung. "Maafkan aku..." sambungnya.

Manik Soonyoung menangkap pergerakan dari tangan Jihoon. Lelaki itu mulai gemetar lagi. Soonyoung menatap bergantian antara tangan lelaki itu dan matanya yang tidak berani menatap ke arah Soonyoung. Helaan napas pun terdengar dari mulut Soonyoung, lelaki itu pun berusaha meraih tangan Jihoon lantas digenggamnya dengan erat tangan tersebut. Tangan lembut yang selalu mengurusnya tanpa adanya rasa lelah.

Melihat tidak adanya tanda-tanda Jihoon akan berbicara, Soonyoung pun meraih dagu lelaki itu untuk dibawa mendongak. Maniknya menatap tepat di manik Jihoon yang kehilangan sinarnya. Namun, lelaki itu berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Jeonghan benar, mata Jihoon tidak dapat berbohong.

"Maafkan aku, Jihoon-ah..."

"Itu bukan salahmu. Aku yang tidak bisa membuatmu nyaman," ujarnya yang kembali menuaikan senyum palsu itu.

"Berhenti untuk tersenyum jika sebenarnya kau terluka, hatimu tidak sekuat baja!"

Ucapan Soonyoung itu mampu melunturkan senyum yang Jihoon torehkan dan mengubah sorot mata Jihoon dalam sekejap. Soonyoung dibuat terkejut karena sebelumnya Jihoon tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini. Wajahnya menampilkan kesenduan beserta dengan sorot mata yang penuh dengan kerapuhan. Sesak dan nyeri pun kini dapat Soonyoung rasakan kala melihat lelaki mungil di depannya. Nyeri itu semakin menjadi kala ia melihat setetes air mata yang jatuh dan menetes tepat di atas tangan Soonyoung yang tengah menggenggam tangan Jihoon.

"Brengsek," umpat Jihoon tepat di depan wajah Soonyoung. "Kau brengsek," umpatnya lagi.

Jihoon pun melepas paksa tangannya dari genggaman Soonyoung. Lelaki bermarga Kwon itu bergeming di tempatnya. Jihoon sama sekali tidak pernah mengumpat di depannya, ini kali pertama pula Soonyoung melihat Jihoon serapuh ini. Sementara itu, Jihoon sudah lari ke arah dapur guna mengambil obatnya. Namun, tangannya tidak sengaja menjatuhkan seluruh botol berisi obat itu. Alhasil, butiran-butiran obat tersebut berserakan di lantai. Jihoon dengan segera memasukkan obat-obat yang terjatuh tersebut ke dalam wadahnya dengan kepayahan sebab tangannya sudah kembali bergetar. Air matanya pun terus mengalir tiada henti hingga membasahi lantai dapur rumahnya.

Eccedentesiast | SoonHoonWhere stories live. Discover now