14

1.3K 152 33
                                    

Bukan suatu rahasia lagi apabila sebuah luka fisik akan sembuh jauh lebih cepat dibanding dengan luka hati. Luka dan pesakitan dalam hati yang dimiliki oleh siapa pun akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih seluruhnya. Bahkan ada yang sama sekali tidak bisa pulih dan mengakibatkan tertanamnya suatu pemikiran buruk pada setiap hal yang membuat luka menganga itu kembali terbuka lebar. Bukan, itu semua bukan berarti ia memiliki dendam dan tidak memaafkan semuanya. Jika kalian pernah dengar kalau kertas disobek ketika disatukan kembali wujudnya tak akan sama, begitu pun hati. Luka dan bekasnya belum terjahit sempurna, bahkan bayang-bayangnya masih sering melayang dalam kepala. Jihoon, sosok itu serupa, tapi tak lagi sama. Senyum ceria yang selalu ia tampilkan dahulu itu telah lama hilang. Tersangka utama yang telah merenggut seluruh sisi keceriaan dalam dirinya yang tak lain dan tak bukan adalah suaminya sendiri.

Lelaki itu, lelaki yang telah menjanjikan sebuah kebahagiaan pada dirinya di awal mereka menikah dahulu. Lelaki itu yang menjadi satu-satunya alasan ia tersenyum. Lelaki itu juga yang telah memberi warna pada hidupnya aram temaram. Namun, begitu semua kejadian buruk itu terjadi, Jihoon hanya bisa memasang senyum palsunya guna menutupi seluruh kesedihannya. Ia selalu menyangkal bahwa ia tersakiti oleh orang yang sangat ia cintai, ia selalu menyangkal bahwa sesungguhnya ia sudah tak mampu lagi. Sampai saat dirasa luka yang ditorehkan itu semakin dalam dan menganga dengan lebar, sampai saat di mana ia menerima kenyataan buruk bahwa orang yang paling ia damba mendua barulah ia mengerti.

Jihoon harus membuka topengnya.

Tepat ketika terbukanya topeng yang selama ini menghalangi dirinya, lelaki itu mengeluarkan seluruh makian dan tangisan yang selama ini ia tahan mati-matian. Luka yang bahkan sampai detik ini masih basah itu benar-benar menyakiti Jihoon. Luka itu menjadikan sebuah trauma hebat pada lelaki yang kini tengah berdiri balkon rumahnya. Kembali, pikirannya berperang satu dengan yang lainnya. Di luar memang cukup hening, tetapi tidak dalam kepalanya. Dalam kepalanya begitu berisik dengan suara yang saling bersahut-sahutan. Hal ini acap kali ia rasakan setelah kejadian itu, terutama di malam hari ketika ia sendirian di rumah dalam keadaan hening. Kalau Soonyoung sudah tiba di rumah, lelaki itu tidak akan membiarkan Jihoon untuk berperang dengan pikirannya sendiri. Boleh dibilang kalau Soonyoung tidak akan pernah lagi melakukan kesalahan yang sama hingga menimbulkan luka yang semakin dalam pada sosok lelaki yang amat ia cintai.

Embusan angin yang menerpa wajahnya malam itu mampu membuat rasa gundahnya ikut terhempas—walaupun hanya sedikit. Lelaki itu merapatkan sweater miliknya ketika angin berembus dengan kuatnya. Dingin, batinnya. Sekilas ia melihat ke arah cincin emas putih yang tersemat di jari manisnya. Pikirannya kembali melalang buana entah ke mana. Sampai di titik di mana ia merasa seperti ada sesuatu di dalam dadanya yang meremat kuat hatinya. Rasanya aneh, membuat sesak.

Tidak becus.

Kata itu menggema dalam kepalanya hingga tanpa sadar rasa sesak itu semakin menjadi. Bahkan tetes air mata pun telah jatuh menganak sungai di pipinya. Digigitnya bibir bawah lelaki itu menahan getar yang juga semakin menjadi. "Berisik," cicit Jihoon sambil menutup kedua telinganya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun, bukannya berhenti, justru kini keadaannya lebih parah lagi ketika pernapasannya mulai tidak stabil. Matanya memejam erat sebelumnya, tetapi kini terbuka sedikit sehingga ia bisa melihat taman belakang rumahnya. Matanya terfokus pada lantai bawah rumahnya dengan maniknya yang terus mengeluarkan air matanya. Kedua tangannya kini sudah terkulai di samping tubuhnya, tak lagi menutup telinganya dengan paksa.

"Kalian ingin aku melakukannya?" tanya lelaki itu pelan entah pada siapa. Lelaki itu menutup matanya sejenak dan membiarkan wajahnya dibelai halus angin malam. Dengan pelan lelaki itu membuka matanya kembali dengan sinar yang meredup pada netranya.

"Baiklah, aku akan melakukannya lagi."

Tepat ketika satu kakinya akan naik ke atas pagar pembatas, ia merasakan seseorang menariknya dan membawanya ke dalam pelukan hangat. Aroma ini, batin Jihoon. Didekapnya lelaki itu dengan erat serta diberikannya kecupan-kecupan kecil di sekitar pelipisnya. "Aku pulang, Sayang," bisik lelaki itu tepat di telinga Jihoon. "Senang rasanya bisa memelukmu lagi, kau sangat berarti bagiku. Jadi, jangan pergi ke mana pun, ya? Tetap di sini bersama denganku."

Eccedentesiast | SoonHoonWhere stories live. Discover now