9

2.4K 285 20
                                    

Di depan rumah mewah Jihoon berdiri. Menatap nanar ke arah bangunan tempatnya tinggal dulu bersama Soonyoung. Di mana seluruh rangkaian cerita dari kehidupan Jihoon tercipta di sana—di rumah besar keluarga kecil Kwon.

Butuh sekitar satu minggu Jihoon memantapkan hatinya untuk kembali datang ke rumah ini. Luka lama itu kembali terlintas di benak Jihoon. Sesak pun seketika hinggap di dadanya dan mencekat laju pernapasannya. Pandangannya memburam serta kedua tangannya mengepal kuat di sebelah tubuhnya. Sekali pun ia telah memaafkan Soonyoung, tetapi luka itu masih tetap ada. Luka itu belum kering sempurna.

Lelaki itu tak kuasa untuk menahan laju air mata yang entah sejak kapan telah menerobos ke luar tanpa peringatan. Ia memilih untuk menundukkan kepalanya dan menatap ke arah sepatu putih yang dikenakannya. Jihoon pun bingung kenapa rasanya bisa sesakit ini, sampai-sampai jika ingatan itu kembali Jihoon selalu tak kuasa untuk menahan emosi yang melingkupi dirinya.

Ya, sesakit itu, sedalam itu Soonyoung menyakitinya.

Sadar bahwa si mungil tak mengikutinya masuk ke rumah, Soonyoung menoleh ke arah belakangnya. Lelaki tersenyum maklum. Di dekatinya lelaki yang beberapa tahun ini telah berganti marga dengan marga Kwon itu. Soonyoung pun menghentikan langkahnga tepat di depan Jihoon yang kini masih betah menunduk.

Buru-buru Jihoon menghapus air matanya ketika pandangannya menangkap sepatu hitam yang tak asing di matanya. Ia pun segera mendongak dengan perasaan takut kalau Soonyoung akan kecewa pada dirinya yang masih mengingat kejadian buruk itu. Namun, ternyata tidak. Sorot mata teduh terpancar dari manik Soonyoung dan disertai dengan senyum tipis yang terlukis di wajah tampannya.

"Mau jalan-jalan sebentar?" ajaknya. Lelaki itu menjulurkan tangannya ke hadapan Jihoon. "Bersamaku?"

Air mata yang sempat tertahan itu kembali jatuh, tetapi kali ini ada perasaan lega di sana. Dengan cekatan, Jihoon menghapus air matanya, lalu mengangguk semangat dengan senyum yang terlukis di bibirnya.

Sore itu, mereka pergi bersama dengan tangan yang tak bisa lepas satu sama lain.

***

Langit telah gelap. Taburan bintang serta cahaya rembulan bersinar menerangi jalanan yang kini telah gelap gulita. Tengah duduk sepasang lelaki yang kini saling mendekap. Yang lebih mungil duduk di antara kedua kaki yang lebih tinggi dengan tangan yang melingkar manis di pinggang si mungil. Lelaki dengan sorot mata setajam elang itu menyandarkan dagunya di bahu Jihoon.

Sementara si mungil—Jihoon—memilih untuk memeluk kedua kakinya dan menumpu kepalanya di atas lututnya. Sesekali dapat Jihoon rasakan bagaimana Soonyoung mengecup tengkuknya atau menghirup wangi rambutnya. Pandangan Jihoon terlempar ke arah pantulan cahaya rembulan di sungai yang ada di depannya.

Sebelah tangan Soonyoung bergerak mengarah ke jari Jihoon di mana tersematnya sebuah cincin berwarna silver. Itu cincin pernikahan mereka. Pandangan Jihoon seketika teralihkan. Lelaki mungil itu memperhatikan bagaimana Soonyoung mengusap lembut cincin yang dipakai Jihoon.

"Kenapa?" tanya Jihoon sedikit keheranan atas sikap sang suami.

Soonyoung menggeleng sembari menjawab. "Tidak apa-apa." Satu kecupan pun mendarat di pelipis Jihoon. "Belum mau pulang?" tanya Soonyoung lirih—takut salah bicara.

Lelaki mungil itu tidak menjawab, melainkan mengeratkan kepalan tangannya dan semakin erat memeluk kakinya. Soonyoung dapat merasakan ketakutan yang Jihoon rasakan akan trauma yang ia peroleh atas kejadian buruk yang menimpanya. Soonyoung paham sekali, sebab ialah penyebab trauma yang Jihoon derita.

Kedua tangan Soonyoung yang terbebas kini memeluk sang pujaan hati. Kedua tangannya ia pakai untuk mengusap lembut kedua tangan yang terkepal dengan kuatnya. "Tidak apa-apa kalau Jihoonie belum ingin pulang," terangnya.

Eccedentesiast | SoonHoonOnde histórias criam vida. Descubra agora