Sebelas

3.8K 326 32
                                    

Seorang pemuda duduk di bangku taman sambil mengaduk-aduk cat akrilik di palet. Ia tampak menikmati hal yang sedang dilakukannya itu. Ia tersenyum manis lalu beralih ke kanvas yang ada di depannya. Ia mengambil kuas lalu menggoreskannya pelan di kanvas itu.

Matanya tampak merah, berkantung, tapi senyumnya memudarkan semua itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Matanya tampak merah, berkantung, tapi senyumnya memudarkan semua itu. Ia tampak sangat optimis. Hingga seseorang datang menghampirinya.

"Kamu..." ucap pemuda yang menghampirinya itu.

Sontak pemuda yang melukis mendongak dan menatapnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sontak pemuda yang melukis mendongak dan menatapnya. Ia ingat, pemuda itu yang menabraknya tadi.

"Aku Austin. Kenapa kau tadi lari?" ucap Austin sambil mengulurkan tangannya.

Pemuda itu membalas uluran tangan Austin. "Namaku Benjamin. Panggil saja Ben." ia tersenyum. "Aku tadi lari karena tidak ingin membuat masalah."

"Padahal aku hanya ingin meminta maaf. Kau tidak apa-apa, kan?" Austin khawatir.

"Seperti yang kau lihat." Benjamin tersenyum lagi.

"Kamu memiliki senyum yang manis, Ben." Benjamin sekilas melihat Austin.

"Terima kasih." lalu tersenyum lagi.

"Apa yang sedang kau lukis?" Austin tampak antusias melihat lukisan Benjamin. Ia sangat menyukai karya lukis.

"Camar."

"Kenapa ada di dalam sangkar? Bukannya burung camar suka dengan kebebasan dan ketinggian?" Benjamin lagi-lagi tersenyum. Ia meletakkan kuasnya dan beralih ke Austin.

"Burung camar ini berbeda. Nasibnya sangat buruk. Ia diburu dan dijadikan peliharaan." Benjamin menunduk. "Tanpa tahu, bahwa burung camar sebenarnya sangat ingin bebas." Ia mendongak lagi. "Sayang sekali ia tidak bisa. Itu sudah menjadi takdirnya."

Austin tertegun. Ucapan Benjamin barusan seperti mengandung sebuah makna. Tapi Austin tak dapat menebaknya.

"Jadi, kau mahasiswa seni?"

"Menurutmu apa aku terlihat seperti mahasiswa kedokteran?"

Austin hanya terkekeh menyadari pertanyaan bodohnya barusan.

Meteor Ga(y)den [END]Where stories live. Discover now