04. Benar-benar Khawatir

3.8K 552 19
                                    

Jungkook sudah pergi, maksudku pergi meninggalkan Seoul untuk menjalankan tugasnya sebagai idola. Sebagai penggemar nomor satu, tentu saja aku selalu tahu update terbaru tentangnya. Seusai belajar dan mengerjakan tugas, tentunya.

Walaupun aku penggemar nomor satu Jeon Jungkook, kewajiban nomor satuku saat ini tentunya belajar. Hal itu tidak boleh dijadikan nomor sekian. Memangnya kalau diri sendiri bodoh, siapa yang akan menanggung malunya? Pasti diri sendiri, dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menjadi gadis bodoh dan berakhir mengenaskan.

Sayangnya untuk hari ini, entah kenapa aku merasa malas belajar. Di kelas, aku hanya mencoret kertas dengan kata-kata acak yang muncul dipikiranku atau sekedar menarik garis-garis abstrak yang tak terbentuk maknanya. Kalimat yang diucapkan oleh dosen, lolos begitu saja dari telingaku. Aneh. Aku benci diriku yang seperti ini.

"Kau kenapa diam saja? Tidak enak badan?" tanya Jiho.

Ia teman sekelasku, kami cukup dekat.

Aku menggeleng lemah sebagai jawaban, "Tidak. Aku juga tidak tahu."

Jiho mencibir, "Aneh sekali kau ini."

"Sepertinya aku merindukan seseorang," balasku masih lemah sembari mengaduk jus jeruk yang tak ku sentuh sama sekali.

"Merindukan siapa? Ibumu? Ayahmu?"

Aku kembali menggeleng kemudian menopang dagu, "Kekasihku."

Jiho terlihat mengerutkan dahi, "Kekasihmu? Siapa? Sejak kapan kau memiliki kekasih?"

"Jeon Jungkook."

Seketika itu juga sepotong kentang goreng mendarat di dadaku. Pelakunya tentu saja Jiho. Aku mendecih tak suka, dia pasti tidak mempercayai itu. Meskipun kami cukup dekat, aku belum membiarkan dia tahu soal hubunganku dan Jungkook.

Kini tangan Jiho terulur, mengusap kepalaku dengan lembut, "Lebih baik belajar yang banyak ya, Nak. Jangan terus-terusan mengkhayal, nanti kau gila."

"Jeon Jungkook itu memang kekasihku, tahu! Ingin bukti?" tentu saja aku tak terima. Kenyataannya memang seperti itu, aku sama sekali tidak berkhayal dan berakhir gila.

"Ya, ya. Dia itu kekasihmu, iya."

...

Aku menangis. Benar-benar menangis karena Jeon Jungkook. Sialan. Brengsek.

Jika sedang dalam tur seperti ini, apalagi tepat saat konser dilaksanakan, komunikasiku dengan Jungkook pasti berkurang. Namun, aku mengerti karena dia pasti sibuk dengan rangkaian kegiatan yang padat. Terakhir ia mengirim pesan saat usai melakukan rehearsal. Setelah itu aku hanya perlu menunggunya sampai konser rampung. Biasanya Jungkook akan menghubungiku 30 menit setelah itu.

Namun, kali ini tidak. Konser belum usai tapi aku sudah melakukan panggilan berkali-kali. Tidak peduli walau tak kunjung di terima, aku terus melakukannya. Aku hanya ingin marah padanya.

Saat konser seperti ini, aku pasti mencari-cari fancam agar aku bisa melihat aksi luar biasa kekasihku saat diatas panggung. Namun, kali ini bukan teriakan yang kutumpahkan, melainkan air mata. Saat konser, Jungkook hanya duduk di sebuah kursi sedangkan yang lain menari, bergerak kesana kemari dengan lincah. Sampai akhirnya Jungkook diberi kesempatan berbicara. Ia meminta maaf dengan sungguh-sungguh akibat kecelakaan ini. Tumitnya robek dan harus mendapat jahitan. Itu alasan kenapa Jungkook tidak bisa menari. Tentu saja aku khawatir, tapi aku mengumpatinya. Kemudian menangis saat melihat Jungkook menitikkan air mata. Ia benar-benar menyesal atas ini karena tidak bisa memberikan yang terbaik.

Sampai akhirnya panggilanku terjawab, namun Jungkook hanya diam. Mungkin dia tahu kalau aku marah.

"Brengsek! Sialan kau Jeon Jungkook! Bodoh! Aku membencimu!" makiku dengan air mata yang terus mengalir.

Number One : FanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang