08.30PM

30.5K 1.7K 120
                                    

Matthew

Senin, 27 Mei, 08.30PM

Ini bukan kamarku.

Bahkan sebelum membuka mata, aku sudah tahu kalau aku bukan berbaring di kamar tidurku. Tidak sulit untuk mengetahuinya dari bau apak debu yang menusuk-nusuk indra penciumanku--yang jelas-jelas bukan bau yang biasa menyelimuti kamarku. Bau apak semacam ini hanya bisa dihasilkan oleh debu yang sudah terakumulasi selama beberapa waktu lamanya. Dan itu berarti tempat ini merupakan tempat yang sudah lama ditelantarkan.

Menyadari hal itu sontak membuatku membuka mata lebar-lebar, sebab aku tak mungkin berada di tempat-tempat semacam itu atas kemauanku sendiri.

Hal pertama yang kulihat, dengan mengandalkan satu-satunya sumber penerangan dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela, adalah lantai keramik yang permukaannya ditutupi oleh lapisan debu tebal--yang membuat warna putih keramik menjelma menjadi keabu-abuan. Hal kedua yang kulihat adalah deretan kaki-kaki kursi beserta meja yang tersusun di depan mataku. Dari situ saja aku sudah dapat menyimpulkan kalau tempat ini dulunya digunakan sebagai ruang kelas.

Pertanyaannya, bagaimana aku bisa sampai berada di sini?

Aku kembali memejamkan mata dan mencoba mengingat-ingat. Aku meninggalkan sekolah pukul tujuh malam--lebih cepat satu setengah jam dari biasanya--lantaran satu kelas tambahan-yang-wajib-diikuti dibatalkan. Aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berjalan kaki selama sekitar dua puluh menit menuju taman kota. Dan setelah itu... aku menyadari kalau aku tak ingat apa yang terjadi setelahnya.

Bukan berarti aku dapat mengingat apa pun dengan sangat baik, hanya saja aku tak biasanya melupakan kejadian yang baru berlalu beberapa jam, apalagi jika itu ada hubungannya dengan diriku sendiri. Masalahnya, kali ini aku merasa seolah ada waktu yang hilang, sebab aku hanya mengingat bagian perjalanan menuju taman kota tapi kenyataannya aku malah berakhir di ruang kelas yang terbengkalai ini.

Ada sesuatu yang tak beres.

Aku meringis kesakitan ketika bagian belakang kepalaku berdenyut-denyut, mengirimkan rasa sakit yang menusuk-nusuk ke seluruh bagian kepala hingga aku tak yakin daerah mana sebetulnya yang menjadi sumber masalahnya. Pelan-pelan, aku memaksa tubuhku beranjak duduk, kemudian kusentuh belakang kepalaku. Samar-samar, aku dapat melihat adanya bercak berwarna gelap di telapak tanganku, dan saat itu ingatanku pun kembali.

Ketika aku melintasi jembatan penyeberangan yang menghubungkan perpustakaan dengan taman kota, seseorang memukul kepalaku dari belakang.

Jantungku mulai berdebar kencang dan aku dapat merasakan telapak tanganku basah berkeringat. Aku yakin orang itulah yang membawaku ke tempat ini dan itu sebabnya aku tak ingat bagaimana caranya aku sampai di sini. Tapi siapa dia dan untuk apa dia melakukan semua ini?

Untuk sesaat, pikiranku melayang pada berita yang ramai diberitakan media beberapa waktu yang lalu soal pembunuh gila yang menculik dan membunuh remaja-remaja berusia 14-16 tahun. Tapi kemudian aku teringat kalau seluruh peristiwa itu terjadi di Andromeda City sementara aku berada di Polaris--kota kecil yang berjarak sekitar 200 kilometer dari ibukota Aequor tersebut. Rasanya mustahil kalau pelakunya adalah orang yang sama.

Tenang, Matt, kau harus tenang. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali sambil mengulang-ngulang kalimat tersebut. Perlahan, detak jantungku kembali ke ritme normal, jadi kurasa cara itu cukup berhasil. Bagaimanapun, dalam situasi semacam ini bersikap panik takkan membantu, apalagi kalau hanya akulah satu-satunya orang yang dapat menolong diriku sendiri.

Pertama-tama, aku membutuhkan ponselku.

Untung saja si penculik meninggalkan ranselku tepat di ujung kakiku. Dan isinya, sesuai harapanku, masih lengkap; beberapa buku tulis, dua pulpen, dan ponsel. Aku mengeluarkan ponsel lalu menutup ritsleting ranselku. Awalnya, aku tak mengerti kenapa si penculik tak mengambil ponselku, tapi dengan cepat aku menyadari kalau benda di tanganku bukan ponsel milikku--warnanya serupa tapi dengan ukuran sedikit lebih besar.

Aku tak peduli itu ponsel siapa selama aku bisa menggunakannya, jadi tanpa ragu aku menyalakan ponsel kemudian memasukkan tiga angka yang merupakan nomor untuk meminta bantuan dalam situasi darurat apa saja. Akan tetapi, suara di ujung telepon mengatakan bahwa nomor tersebut sedang tak dapat dihubungi. Aku mencoba lagi beberapa kali, tapi hasilnya sama, jadi aku menyerah dan memasukkan nomor ponsel ibuku--satu-satunya nomor yang dapat kutelepon. Tapi ternyata dia juga tak dapat dihubungi.

Dengan kening berkerut, aku memeriksa daftar kontak di ponsel, dan menemukan bahwa hanya ada satu nama tersimpan di sana--Victor. Ide untuk menghubunginya sempat terlintas di benakku, tapi aku tak yakin menelepon orang asing adalah ide bagus. Kemungkinan dia memercayai ceritaku sangat kecil, malah bisa jadi dia mengira aku hanya orang iseng. Jadi aku pun memutuskan untuk mencari jalan keluar sendiri.

Mengabaikan sisa-sisa rasa sakit dari luka di kepalaku, aku bangkit, menyandang ransel di bahu kiri, lalu menyalakan senter pada ponsel dan mengarahkannya ke sekitar tempatku berdiri. Cahaya yang keluar tidak terlalu terang, tapi ditambah cahaya bulan lebih dari cukup untuk membantuku memindai sekeliling. Aku memicingkan mata selagi mengamati meja kayu di dekatku. Ada ukiran di sudut kanan atasnya, dan ukiran itu terlihat familier.

Aku berjalan mendekati meja tersebut, menyorotkan cahaya dari ponsel ke permukaan meja, dan sebelah alisku sontak terangkat begitu aku menyadari ukiran apa yang tertera di sana.

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now