09.41PM

5.1K 782 28
                                    

Matthew

Senin, 27 Mei, 09.41PM

Ada seseorang di sana.

Secara refleks, aku menurunkan tanganku yang memegang ponsel, memindahkan cahaya dari senter menyinari kakiku. Meski senter di ponsel ini tidak terlalu terang, tapi aku tak ingin mengambil risiko ketahuan. Lagi pula, tak ada salahnya untuk mengambil tindakan pencegahan. Aku memicingkan mata, mengamati sosok yang berdiri beberapa meter di depanku. Tepatnya, dia menghadap ke arah pintu dengan papan bertuliskan angka 3 di atasnya.

Ada cahaya yang menyorot pintu tersebut jadi aku dapat melihat bahwa pintu itu, sama seperti pintu nomor satu, juga digembok. Itu kabar buruknya. Kabar baiknya, orang di depanku hanya berdiri diam seperti patung, jadi kelihatannya dia belum menyadari kehadiranku. Dengan kata lain, aku punya sedikit waktu untuk menentukan apa yang harus kulakukan.

Bersembunyi?

Memukulnya dari belakang?

Atau melarikan diri?

Pertanyaan yang paling penting adalah, apa dia kawan atau lawan?

Bagaimanapun, orang itu bisa menjadi siapa pun--si penculik atau korban penculikan--jadi aku harus membuat keputusan yang tepat sebelum bertindak.

Mengandalkan penerangan dari cahaya bulan yang menembus masuk melalui jendela-jendela kaca di sebelah kami, aku dapat memastikan bahwa dia adalah seorang gadis. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, rambut oranyenya diekor kuda, dan dia membawa tas di pundaknya. Tas itu kecil, jadi aku tak yakin barang apa yang muat di dalamnya. Dari hasil pengamatanku, dia tidak tampak berbahaya, tapi di situasi seperti ini aku tidak ingin menarik kesimpulan dengan gegabah dan berakhir mati konyol hanya karena berpikir seorang gadis tak dapat membunuhku.

Otakku mulai menganalisis lebih lanjut. Jika dia adalah si penculik, untuk apa dia berdiri memandangi pintu keluar seperti itu? Dia pasti sudah tahu kalau pintu itu terkunci, jadi dia tak perlu repot-repot mendatangi pintu tersebut. Jika maksudnya adalah untuk menunggu salah satu dari kami datang, maka dia akan berdiri menghadap ke arahku, bukan sebaliknya. Artinya, gadis itu ingin memastikan apakah pintu itu dikunci atau tidak. Pemikiran tersebut membawaku ke kesimpulan akhir; dia juga korban penculikan sepertiku.

Masalahnya, aku masih sedikit tak yakin.

Bagaimanapun, berjaga-jaga tak ada salahnya. Jadi, aku memutuskan untuk tak mendekatinya, melainkan berbicara padanya dari sini. Jarak beberapa meter seharusnya cukup aman--seandainya ternyata dia adalah lawan.

Aku menelan ludah lalu memanggilnya keras-keras, "Hei!"

Begitu mendengar suaraku, gadis itu berjengit, kemudian memutar tubuh dan dengan gerakan panik menyorotkan senter di ponselnya ke mataku hingga aku kesilauan dan harus menutup mata. Sepertinya dia sengaja. Barangkali dia kira aku adalah orang jahat.

"Jangan mendekat!" serunya. Kendati membentakku dengan nada galak, tapi terdengar jelas kalau suaranya bergetar lantaran ketakutan--bukti lain kalau gadis itu bukan si penculik ataupun komplotannya.

Aku menurunkan tudung jaketku dengan tangan yang tak memegang ponsel, kemudian berkata, "Dengar, aku bukan orang yang menculikmu. Aku juga korban, jadi bisa tolong singkirkan sentermu dari mataku?"

Gadis itu tak langsung menyahut, dan untuk sesaat kukira dia tak mendengar ucapanku. Atau mendengar tapi tak percaya. Tapi kemudian dia menyahut dengan nada tertahan, "Matthew?"

Keningku seketika berkerut. Bagaimana dia bisa tahu namaku? Aku membuka mata. Sinar dari senter di ponselnya sudah tak diarahkan ke mataku lagi, jadi sekarang ganti aku yang menyorotkan senter di ponselku ke wajahnya. Begitu aku dapat melihat wajahnya dengan jelas, kerutan di keningku menjadi semakin dalam.

Sial. Pantas saja suaranya terdengar tak asing. Dari semua orang yang ada di Polaris, kenapa aku harus terperangkap di sini bersama Courtney?

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now