10.05PM

4.1K 688 22
                                    

Matthew

Senin, 27 Mei, 10.05PM

Manusia memang mengerikan.

Mereka cepat sekali berubah, apalagi kalau ada maunya. Contohnya gadis di sebelahku ini. Hingga akhir tahun lalu, dia tak pernah berbicara denganku. Dia juga tak pernah menghentikan ketiga temannya dari merundungku. Dia selalu memperlakukanku seolah aku hanyalah kerikil yang dia temui di jalan--tak cukup berharga untuk menyita waktunya.

Tapi sekarang? Dia bahkan rela berjalan berdampingan denganku hanya karena takut bertemu dengan si penculik sendirian. Kalau dikiranya aku akan menolongnya saat dibutuhkan, dia akan kecewa sebab aku sama sekali tak berencana begitu.

Aku menyelipkan kedua tanganku ke saku jaket, sementara Courtney menyorotkan senter di ponselnya ke depan. Cahaya yang dipancarkan cukup untuk menerangi koridor seadanya--ditambah dengan cahaya bulan yang masuk melalui jendela, jadi kami sepakat untuk mematikan senter ponselku.

Tujuannya tak lain untuk menghemat baterai, sebab rupanya baterai yang tersisa di ponsel kami kurang dari 30 persen, dan kami tak tahu akan terperangkap di sini hingga kapan. Paling lama sekitar sembilan jam, kalau kami bisa menghindari si penculik. Atau bisa juga lebih cepat, kalau kami bisa menemukan cara untuk keluar dari sini.

"Lewat sini," bisik Courtney, memimpin jalan menuju aula olahraga. Tadi dia mengusulkan untuk bersembunyi di sana selagi kami memikirkan cara untuk kabur. Dia bilang, tempat itu merupakan area yang luas dan bisa diakses melalui beberapa pintu, jadi kami akan memiliki peluang untuk kabur kalau, seandainya, kami ketemu si penculik. Aku tak suka mengakui ini, tapi usulnya memang terdengar cukup bagus.

Aku mensejajarkan langkahku dengan Courtney, dan sebenarnya ini terasa canggung. Aku masih tak terbiasa dengan semua ini--berjalan dengannya dan berbicara secara santai. Seringnya, suasana pertemuan kami tidak terlalu baik. Entah aku sedang diolok oleh Shelby atau tengah dipukuli Eli dan Brian. Salah satunya saja. Tapi kini Courtney bersikap seolah kami adalah teman, dan hal itu cukup menggangguku.

Kami bukan teman, dan takkan pernah menjadi teman.

Aku yakin dia takkan bersedia melakukan semua ini jika tadinya kami berada di situasi yang normal--dan tentu saja sama halnya denganku. Faktanya, kebencianku padanya sudah mencapai tahap tak ingin berada di ruangan yang sama, jadi kalau bukan karena dia mengeklaim hafal denah gedung ini--yang sangat wajar mengingat statusnya sebagai putri kepala sekolah SMA Polaris, aku takkan setuju berjalan bersamanya seperti sekarang.

"Kau sudah mencoba memecahkan kaca jendela?" tanya Courtney, dan aku menggeleng. "Kenapa tidak?"

"Terlalu berisik. Lagi pula, setahuku kaca jendela di gedung ini tergolong tebal dan sulit untuk dipecahkan. Mencoba merusaknya hanya akan memberi tahu si penculik di mana aku berada."

"Kupikir juga begitu." Dia mengiakan, dan lagi-lagi itu terasa aneh. Untuk pertama kalinya, Courtney Morrison sependapat denganku. Keakraban yang dia tunjukkan benar-benar terasa palsu hingga membuat perutku bergolak mual, sebab aku tahu betul bagaimana sikapnya terhadapku sebelum kami terperangkap di tempat ini.

Gadis itu tiba-tiba terlonjak kaget ketika panggilan masuk muncul di layar ponselnya. "Ini... dari orang itu," bisiknya, walaupun sebetulnya dia tak perlu mengatakannya lantaran aku dapat melihat nama Victor muncul di layar. Courtney bertukar pandang denganku, wajahnya pucat pasi dan kepanikan terlihat jelas di sana. "Kenapa dia menghubungiku?"

"Kau harus menjawab teleponnya untuk tahu," balasku datar, dan dengan patuh gadis itu mengikuti saranku.

"Aneh, tak ada suara," kata Courtney, keningnya berkerut bingung selagi tangannya menempelkan ponsel ke telinganya. Aku baru menyadari kalau telinga kirinya memiliki tiga tindikan--tidak terlalu cocok dengan citra dirinya yang kutahu.

Beberapa detik usai Courtney menjawab teleponnya, ponsel di saku jaketku berbunyi. Ketika aku mengambilnya, nama 'Victor' terpampang di layar. "Dia juga meneleponku," kataku sambil menjawab panggilan tersebut.

Sejujurnya, aku cukup penasaran kenapa dia menghubungi kami. Tadinya kukira dia meninggalkan nomornya di ponsel yang dia berikan semata-mata agar kami dapat menelepon dia. Tapi kenyataannya malah dia yang duluan menelepon, dan itu membuatku bertanya-tanya.

Sama halnya dengan bagaimana bisa dia membuat ponsel kami tak bisa digunakan untuk menelepon siapa pun selain dia--Courtney juga sudah memberitahuku kalau ponsel yang diberikan padanya juga seperti itu. Sebelum hari ini, aku bahkan tak tahu kalau hal itu dimungkinkan.

Alisku berkerut ketika di ujung telepon terdengar deretan makian. Bukan ditujukan pada kami, kurasa, sebab suara itu milik seorang perempuan, dan ketika aku bertukar pandang dengan Courtney, aku tahu kalau dia juga mendengar suara yang sama denganku. Saat itu, aku pun paham apa yang terjadi. Rupanya penculik itu sengaja membuat panggilan grup untuk melibatkan kami semua dalam pembicaraan ini.

Masalahnya, suara ini terdengar tak asing di telingaku.

Suara ini... milik Shelby.

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now