09.06PM

9.4K 1.1K 51
                                    

Courtney

Senin, 27 Mei, 09.06PM

Ini gila. Benar-benar gila.

Pertama, aku terbangun di ruang kesehatan gedung sekolahku yang lama, dan itu sangat menjengkelkan sebab tempat ini diselimuti debu dan sarang laba-laba serta berbau sangat tidak menyenangkan. Aku tak ingat bagaimana aku bisa berada di sini. Hal terakhir yang kuingat adalah, aku keluar dari mobilku usai memarkirnya di area parkir bawah tanah sebuah pusat perbelanjaan--dan tempat itu berjarak sejauh setengah jam perjalanan dari sini jadi tak diragukan lagi, seseorang pasti membawaku ke sini.

Aku tak yakin ada berapa banyak pelaku yang terlibat, tapi pemilik suara yang barusan kudengar melalui speaker yang dipasang di sudut kanan atas ruang kesehatan pasti adalah salah satunya. Hal yang dia katakan adalah hal kedua di hari ini yang, rasa-rasanya, bisa membuatku gila. Aku tak mengerti kenapa dia mengharuskan aku--dan beberapa orang lain, aku tak tahu berapa banyak--mengikuti permainan yang dia buat.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Dengan tangan gemetaran, aku mengikat rambutku menggunakan karet yang selalu melingkari pergelangan tanganku, kemudian meraih ponsel yang tadi kuletakkan di atas kotak P3K bertuliskan 'SMA Polaris'--nama sekolahku yang lama. Layarnya masih menampilkan pesan yang sama dengan yang kubaca beberapa menit yang lalu.

Kalian semua membunuh seseorang tahun lalu.

Membunuh?

Aku memutar bola mata, berusaha menipu diriku sendiri dengan bersikap seolah-olah aku sedang marah--itu cara yang selalu kugunakan setiap kali merasa takut dan seringnya itu berhasil. Lagi pula, aku memang punya alasan untuk marah. Diculik sendiri sudah merupakan pengalaman yang tak mengenakkan, ditambah lagi dengan ancaman kematian yang menyertainya.

Aku yakin kalau penculik itu hanyalah pria tak waras yang mencari-cari alasan untuk membunuh kami. Pasti dengan memercayai bahwa kami telah melenyapkan nyawa seseorang, dia merasa sah-sah saja untuk membunuh kami sebagai gantinya. Maksudku, aku yakin betul kalau aku tak pernah membunuh siapa pun. Aku bahkan tak pernah berpikir ingin membunuh seseorang. Tak ada orang yang sangat kubenci hingga aku menginginkan kematiannya.

Yah, Shelby mungkin punya.

Mataku menatap layar ponsel yang memancarkan cahaya di tengah-tengah kegelapan. Satu hal yang pasti, orang itu tak berbohong soal ponsel ini. Aku sudah memeriksanya selama beberapa saat sebelum dia berbicara pada kami, dan benda ini--anehnya--memang tak bisa digunakan untuk menelepon siapa-siapa. Ponsel ini juga tak dilengkapi dengan internet, dan seluruh fitur selain untuk menelepon, mengirim dan menerima pesan singkat, serta senter tak bisa digunakan.

Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya atau barangkali dia hanya menggunakan ponsel yang sudah separuh rusak. Selain itu, aku juga sudah memastikan kalau memang benar hanya ada satu nomor yang tersimpan di dalamnya. Nomor tersebut disimpan dengan nama 'Victor', jadi apakah itu berarti Victor adalah nama orang yang menculik kami?

Aku meraih ponsel lalu menyalakan senter. Ada hal lain yang tak kumengerti. Bagaimana orang itu bisa menggunakan alat-alat di ruang penyiaran? Padahal lampu di sini bahkan tak menyala--aku sudah mencobanya tadi--jadi seharusnya ruang penyiaran juga tak bisa digunakan. Tapi ini bukan waktunya untuk memikirkan keanehan tersebut, jadi aku tak memikirkannya lebih lanjut.

Aku menyambar tas tanganku kemudian menumpahkan seluruh isinya ke atas meja yang permukaannya tertutup debu. Penculik itu hanya mengambil ponselku tapi aku tak yakin benda-benda yang tersisa--lipstik, bedak padat, parfum--akan dapat berguna di situasi saat ini, jadi pada akhirnya aku membuang semuanya kecuali sebotol parfum berukuran lima puluh mililiter yang masih separuh penuh. Jika bertemu si penculik, mungkin aku bisa menyemprotkannya ke wajahnya untuk... entahlah, memberiku waktu untuk melarikan diri? Semprotan merica akan lebih berguna, tapi sayangnya aku meninggalkannya dalam dasbor mobilku.

Setelahnya, aku membuka kotak P3K, menyambar apa pun yang dapat kuambil, kemudian menjejalkan semuanya ke dalam tas, sampai-sampai ritsletingnya nyaris tak dapat ditutup. Aku tak yakin akan membutuhkannya, tapi siapa tahu? Aku bukan tipe orang yang dapat menahan sakit, bahkan luka goresan sekecil apa pun.

Aku menelan ludah kuat-kuat, mengusap keringat dingin yang membasahi keningku dengan punggung tangan, kemudian menggantung tasku di pundak. Sejujurnya, aku takut--kali ini berpura-pura marah tak terlalu membantu. Ini mengerikan dan aku tak tahu berapa lama waktu yang aku punya sebelum penculik itu menemukanku.

Masalahnya, untuk tetap bersembunyi di sini juga bukan ide baik, sebab cepat atau lambat dia pasti akan mencariku ke tempat ini. Satu-satunya cara, aku harus melarikan diri. Penculik itu bilang hanya ada dua cara untuk memenangkan permainan ini, dan aku tak mengerti kenapa begitu. Bukankah kami hanya perlu berjalan menuju pintu keluar? Hasil akhirnya akan sama saja--keluar dari sini dalam keadaan hidup.

Dan itulah yang persisnya akan kulakukan. Masa bodoh dengan permainan yang dia bicarakan.

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang