09.45PM

4.9K 749 16
                                    

Senin, 27 Mei, 09.45PM

Hingga akhir tahun lalu, Courtney Morrison adalah salah satu mimpi burukku.

Bersama tiga temannya--Shelby, Eli, dan Brian--boleh dibilang merekalah orang-orang yang menguasai SMA Polaris. Dan saat aku bilang 'menguasai', maksudku adalah seisi sekolah, jadi para guru juga termasuk.

Ada alasannya kenapa aku berkata begitu.

Mereka datang ke sekolah kapan pun mereka mau serta mencontek sewaktu ujian secara terang-terangan, tapi tak pernah ditegur sekali pun. Mereka merundung siapa pun tanpa ada seorang pun yang berani melawan. Semua orang menutup mata terhadap segala yang mereka perbuat. Seolah ada peraturan tak tertulis yang menyatakan bahwa Shelby bersama gengnya dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa perlu mempertanggungjawabkannya.

Satu hal tentang mereka adalah, mereka tak pernah mengambil uang atau barang--semata-mata karena latar belakang mereka yang berasal dari golongan ekonomi kelas atas, tapi mereka melakukan yang jauh lebih buruk dari itu.

Mereka menghancurkanmu.

Dan aku bukan pengecualian.

Aku melakukan semua yang kubisa untuk menghindari mereka, tapi pada hari-hari tertentu sepertinya mereka memilih, dengan sengaja, untuk mencari masalah denganku. Terkadang, ketika aku baru tiba di sekolah, Brian akan menghampiriku di loker dan memanggilku dengan sebutan 'Matthew si pecundang'. Jika aku tidak menyahut maka dia akan memukuliku seolah aku adalah samsak dan baru akan berhenti ketika dia sudah puas. Hal itu terjadi paling tidak sekali tiap minggu.

Di sisi lain, Shelby senang mencoret-coret lokerku dengan kata-kata yang masih kuingat hingga sekarang; idiot, si miskin, pecundang. Kelihatannya hanya tiga kata itu saja yang dapat dipikirkan oleh otak kosongnya sebab dia tak pernah menuliskan kata-kata yang lain. Sementara Eli sedikit lebih kreatif. Terkadang dia menambahkan kata 'bodoh' atau 'tolol'. Ketika tak ada lagi tempat kosong di lokerku untuk dicoret, mereka akhirnya mencoreti meja dan buku-buku pelajaranku.

Memang benar aku miskin, kuakui itu, tapi aku bukan idiot, apalagi pecundang. Pecundang adalah orang-orang seperti mereka, yang merasa dapat--dan berhak--melakukan apa pun hanya karena latar belakang keluarganya. Dan, tentu saja, Shelby adalah si idiot di kelompok mereka. Semua orang tahu itu.

Masalahnya, manusia cenderung memercayai apa yang sering mereka dengar. Dan dikata-katai seperti itu setiap hari mengakibatkan kepercayaan diriku yang memang pada dasarnya tidak terlalu tinggi terkikis sedikit demi sedikit. Itulah sebabnya aku sampai perlu mengukir namaku di meja agar aku tidak melupakan siapa diriku yang sebenarnya. Jika aku tidak melakukannya, aku yakin kalau lama-kelamaan aku akan percaya bahwa aku memang seperti yang mereka katakan; hanya seorang pecundang miskin yang idiot.

Mataku menatap gadis yang berdiri di hadapanku lekat-lekat. Courtney sendiri tidak pernah mengata-ngataiku, tapi dia selalu memberiku tatapan meremehkan yang kubenci. Jenis tatapan yang membuatku merasa bahwa terlahir miskin adalah dosa. Aku tak yakin apa dia menatap orang lain dengan cara yang sama. Yang jelas, kehadirannya selalu menyebabkan munculnya semacam perasaan mengasihani-diri-sendiri--bahkan saat ini--dan aku tak suka itu.

"Kau juga... terperangkap di sini?" tanyanya, dan menurutku itu pertanyaan bodoh sebab tentu saja gedung ini bukan pilihan untuk dikunjungi dalam rangka bersenang-senang.

Aku menurunkan tanganku yang memegang ponsel. "Yeah," gumamku, tidak terlalu ingin berbicara panjang lebar dengannya. Aku dapat menebak kalau dia juga diculik oleh orang yang menculikku, tapi aku tak merasa ada gunanya untuk mendiskusikan hal tersebut dengan sesama korban, apalagi kalau korban itu adalah dia.

Courtney maju beberapa langkah, mempersempit jarak di antara kami. "Semua pintu keluar terkunci. Aku sudah memeriksanya."

Aku sudah bisa menduganya--meski tadi tetap memutuskan untuk memeriksa kedua pintu yang lain. Masalahnya, aku memerlukan waktu kurang lebih dua puluh menit hanya untuk menemukan pintu nomor tiga, jadi setidaknya bertemu Courtney ada untungnya juga. Aku jadi tak perlu repot-repot mencari pintu nomor dua.

"Kau punya ide? Maksudku, bagaimana supaya kita bisa keluar dari sini?" tanyanya ketika aku tak menyahut.

"Kita? Apa maksudmu dengan 'kita'?" balasku dengan alis berkerut, kemudian aku paham makna di balik pertanyaannya. "Jangan bilang kau mau kita... uh, bekerja sama untuk melarikan diri dari tempat ini? Kau dan aku? Kau tahu kan, hubungan kita seperti apa?"

Dulu aku takkan punya nyali untuk berbicara seperti ini terhadapnya, apalagi kalau dia sedang bersama Eli atau Brian. Itu cari mati namanya. Tapi situasi saat ini berbeda. Sejak kami semua dipindahkan ke gedung sekolah lain lantaran SMA Polaris ditutup, aku tak pernah lagi bertemu dengan mereka, jadi otomatis perasaan terintimidasi yang biasa kudapatkan dari mereka menyusut secara drastis. Dan lagi, saat ini Courtney tak bersama ketiga temannya, dan tanpa mereka dia bukan apa-apa.

Gadis itu terperangah usai aku berbicara. Aku yakin dia masih ingat dengan jelas bagaimana dia dan gengnya memperlakukanku dulu--serta bagaimana dia mengabaikan semua itu. Dan dari cara bicaraku seharusnya dia tahu kalau aku juga masih mengingat semua itu. Jadi menurutku dia boleh dibilang tak tahu malu alias bermuka tebal lantaran masih nekat mengajakku bekerja sama.

"Aku tahu kau pasti membenciku," katanya, matanya menyorotkan kegelisahan, "tapi tak bisakah kau melupakannya sejenak? Kau bisa membenciku nanti setelah kita berhasil keluar dari tempat ini."

Itu adalah kata-kata paling tak tahu diri yang pernah kudengar seumur hidupku. Bahkan putus asa harus ada batasnya. Aku membuang napas keras-keras kemudian melempar tatapan tajam ke arahnya. "Apa yang kau katakan sangat masuk akal, Courtney. Tapi ada satu masalah. Aku lebih memilih untuk membencimu sekarang."

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now