[Cerpen] The Boy Next Door oleh R. Wahyu

541 62 5
                                    

The Boy Next Door
Penulis: rachmahwahyu

Undin tetangga sebelah kamarku itu memang menyebalkan. Semua orang di kos membencinya, termasuk aku. Dia itu sombong dan suka mencela orang lain. Seolah dirinya adalah pribadi maha sempurna padahal tidak. Dia suka menumpuk sampah di depan kamarnya, menyalakan musik heavy metal keras-keras pada subuh-subuh, dan kakinya bau sekali.

Hampir tidak ada anak di kos kami yang suka berinteraksi dengan dia. Jika dia keluar dari kamar saat kami sedang berkumpul di ruang tengah, maka seketika kami akan membubarkan diri. Herannya dia tidak pernah peka sekalipun bahwa dirinya sedang dikucilkan. Tampaknya dia memang muka tembok. 

Aku ingin dia segera pindah dari kos ini. Lalu hari ini harapanku itu terkabul. Dia telah pindah ke alam baka. Ya, dia ditemukan tewas di kamarnya pagi ini.

Jam tiga pagi aku terganggu karena bunyi musik heavy metal itu. Aku sedang belajar untuk konsultasi skripsi dengan dosen nanti siang. Aku ini sudah semester empat belas hampir drop out. Tidak bisakah dia tidak mengangguku barang sehari saja? Aku kesal setengah mati. Akhirnya aku keluar kamar dan menggedor pintu kamarnya.

"Udin! Matikan musikmu itu! Polisi telinga!" teriakku sambil mengumpat-umpat dan berusaha membuka engsel pintu.

Aldo keluar dari kamarnya dengan mata yang terbuka sedikit. Tampaknya masih mengantuk. Cowok hanya mengenakan boxer. 

"Apaan sih, Kak? Berisik banget!" serunya kesal. Anak itu vokal band indie yang sedang naik daun Pheromones. Tiap malam selalu manggung di kafe X dan biasanya baru pulang sekitar jam dua pagi. Kutebak dia baru saja tidur.

"Tahu nih si Udin! Kalau jam segini selalu aja rame!" tuturku.

"Ada apa sih?" Kak Geri keluar dari pintu kamarnya sembari menguap lebar. Aku yakin karyawan bank yang merangkap gamer sejati PUBG itu habis begadang. 

"Ini si Udin!" seruku sembari menunjuk pintu kamar bocah tengik itu.

Kak Geri berdecak-cedak. Dia maju ke depanku lalu menggedor kamar Udin.
"Hei, Udin! Matikan musik salahmu itu! Matikan!" hardiknya jengkel namun tak ada reaksi dari dalam kamar.

"Si brengsek ini apa sengaja? Aku ini ngantuk masih mau tidur!" keluh Kak Geri.

"Mungkin dia mati," seloroh Aldo ikut jengkel.

"Kita dobrak saja pintunya!" usulku.

"Kalau pintunya rusak nanti kita diomeli Bapak kos," tolak Kak Geri ragu-ragu.

"Terus mau kakak biarin aja? Kakak bisa balik tidur dengan musik sebising ini?" geramku.

Kak Geri mendesah. Jelas dia sudah nggak bisa balik tidur lagi, tapi membiarkan musik heavy ini bisa membuat kepalanya makin pusing.

"Ya udah, kita dobrak aja," putusnya.

Kami bertiga mengambil ancang-ancang. Lalu menabrakan tubuh kami ke pintu bersama. Pintu itu akhirnya terbuka. Betapa terkejutnya kami ketika melihat apa yang ada di dalam kamar. Udin tergantung di sana dengan lidah yang terjulur. Dia mati, sesuai dengan harapan kami semua. Kami panik dan segera memanggil Bapak Kos. Pria tua itu juga gemetaran. 

"Panggil ambulans dan polisi," ucapku. Aku tak berani masuk ke kamar itu. aku hanya berdiri dengan gamang melihat Kak Geri, Aldo dan Pak Santoso yang memandangi mayat Udin yang masih bergelantungan.

"Kita apakan dia? masak dibiarkan menggantung begitu?" tanya Aldo.

"Turunkan saja dia, Nak Aldo, katanya mayat pun masih bisa merasakan rasa sakit," kata Pak Santoso.

Jurusan HMTK The WWGWhere stories live. Discover now