[Cerpen] White Li(lie)s oleh HygeaGalenica

549 50 4
                                    

WHITE LI(LIE)S
Penulis: HygeaGalenica

Di ruang sempit nan lembab ini, telah dipenuhi dengan tawa membahana. Mengalahkan suara tetesan air yang berubah menjadi kemerahan. Aku tertawa, sebab kesunyian ini telah sukses membuatku gila. Seolah-olah diriku meniup sangkakala setan, kamu hanya bisa menatapku di sudut sana. Sampai-sampai dirimu pun lupa untuk berkedip.

--o--

Kehidupan itu bisa disamakan dengan wahana Roller Coaster. Ada waktu ketika akan terasa sangat lama untuk sampai ke puncak karir. Ada pula titik di mana kita akan mengalami tekanan, pekerjaan, datang bertubi-tubi, tanpa membiarkan tubuh ini berhenti sejenak. Bagai terhempas dari ketinggian lalu terpental ke sana ke mari mengikuti tikungan tajam yang tidak ada habisnya. Itulah yang kualami sekarang, seorang dokter selalu memiliki jam kerja yang tidak terduga. Terutama yang bekerja di ruang operasi, seperti diriku. 

"Itu tadi operasi yang lumayan menegangkan, bukan?" Rekan kerjaku, seorang dokter bedah, mulai basa-basi. Sepertinya dia ingin mendengar pendapatku tentang operasi yang baru saja kami selesaikan.

"Ya, kalau saja Anda tidak sigap menindak lanjuti pendaharan di lehernya. Mungkin saja pasien akan kritis," ucapku dengan tenang. Sebenarnya aku sedang menyindir rekanku.

Dia menyeka keringat di dahinya yang lebar. "Beruntung itu hanya tumor Parotis*, masih jinak--meskipun ukurannya sudah sebesar bola ping pong. Tapi, kalau mau jujur, ini operasi yang hampir merusak reputasi 'tangan ajaibku'." Dia pun tertawa dengan lelucon garingnya.

Aku berusaha tersenyum untuk menghormati usahanya untuk mencairkan suasana. Entah diriku yang terlalu serius, akhir-akhir ini aku jarang tertawa. Ah ... sepertinya aku memang butuh liburan.

Kami berdua berjalan menyusuri lorong dengan dominasi warna putih. Suara langkah diredam oleh karpet abu-abu yang kelam. Pintu-pintu kamar VIP berderet di sebelah kanan, sedangkan di sisi kiri dihiasi jendela dengan kaca yang bersih mengkilap. 

Dari arah berlawanan, ada seorang residen dan beberapa anak koas yang mengekor. Kami, para dokter senior, selalu menyebut mereka sebagai pasukan bebek. Sebab mereka selalu berbaris rapi dan tidak akan terpisahkan dari 'induknya'. Sang residen melihat kami berdua, senyum mengembang hingga deretan giginya yang rapi terlihat. Dia pantas direkrut dalam iklan pasta gigi.

"Dok! Bagaimana operasinya? Lancar?" Residen itu bertanya ke rekan kerjaku. 

Aku melirik rombongan mahasiswa di belakangnya. Mereka segera mengeluarkan pulpen dan buku catatan. Bersiap bila diperbincangan kedua dokter itu bisa memberi ilmu tambahan bagi mereka yang masih awam dengan istilah-istilah yang tidak tertulis di buku kuliah.

"Lumayan. Pasiennya berhasil selamat. Itu yang paling penting."

"Oh ya, Dok, sudah sarapan?"

"Setelah kamu berkata seperti itu, aku mulai merasakan cacing-cacing di perutku mulai menggeliat. Mari, kita pergi sarapan di kafetaria. Oh, kamu ikutkan Datura*?" Rekanku menoleh ke arahku, dia hampir lupa bahwa selama ini aku berdiri di sampingnya.

"Maaf, aku ada janji. Mungkin kapan-kapan."

Kekecewaan terukir di wajahnya. "Sayang sekali .... Kalau begitu sampai jumpa lagi, Dokter Datura." Setelah berpamitan, dia langsung pergi menjauh bersama gerombolan dokter muda.

Aku tipe orang tertutup dan aku menyadarinya. Bukannya aku sombong seakan tidak ingin memperluas pergaulanku. Hanya saja, bila aku ikut dengan mereka, apa yang akan kami bicarakan? Pasti aku hanya akan menjadi pendengar saja. Mereka akan bercerita panjang kali lebar tentang aksi heroik mereka selama menekuni pekerjaannya.

Jurusan HMTK The WWGWhere stories live. Discover now