LIMA BELAS - HI, KELVIN!

3K 103 3
                                    

LIMA BELAS - HI, KELVIN!

"MAU ke mana pakai baju cantik begini, nge-date sama Chris, ya?" celutuk Rina saat aku tengah mencatok rambutku supaya tampak bergelombang di bagian bawahnya. Mau ketemu mantan gebetan nggak boleh kucel! Harus rapi dan tunjukkan bahwa kita baik-baik saja tanpa keberadaannya. Girls, jangan pernah menunjukkan sisi rapuhmu di depan mantan gebetan! Itu hanya akan membuatnya puas dengan melihatmu sengsara.

Aku memutar bola mataku malas, bibirku mengerucut. Sejak aku tiba di Pekanbaru, mereka tak habis-habisnya mengejekku dan Chris. "Ngejek aja terus, Kak. Padahal benaran nggak ada apa-apa. Main sama laki-laki bukan berarti pacaran, bisa aja cuma sahabatan. Jangan sedikit-dikit langsung dikaitkan ke arah pacaran, dong."

Rina tertawa dan melemparkan gulingnya ke arahku. "Ih, malah ngambek."

"Nggak, ah!" Aku membalas lemparan Rina, dia mengaduh kesakitan.

"Galak amat, woi, jadi cewek! Nanti Chris kabur loh!"

"Kak Rina!!!" jeritku sebal. "Awas aja kalau ngejek sekali lagi. Aku mau pulang ke Batam aja!"

"Eh, eh, jangan marah. Iya, aku nggak ejekin lagi. Maaf ya." Rina memasang puppy eyes dan mengerjapkan mata beberapa kali. "Janji deh. Cius."

"Rika, lo udah kelar belum?" Suara Chris terdengar dari balik pintu, sepertinya dia sudah cukup lama menungguku bersiap. "Om Santo mau nganterin nih. Kita ketemuannya di mall. Kelvin dan teman-temannya udah sampai."

"Iya, iya. Aku udah selesai," jawabku dari dalam kamar seraya merapikan seluruh peralatan-peralatan make up dan meraih tas selempang hitamku.

"Kak Rina, aku pergi dulu," pamitku pada Rina sebelum keluar dari kamar.

Kak Rina mengacungkan jempolnya. "Ho-oh. Hati-hati di jalan."

Begitu pintu kamar benar-benar tertutup. Aku menoleh dan menemukan Chris sedang menungguku di sofa sambil memainkan ponselnya. Hari ini dia tampak rapi dengan kemeja dan celana jeans berwarna biru dongker, lengkap dengan kacamata minus bertengger di hidungnya yang mancung.

"Chris, yuk," ajakku tersenyum cerah padanya. "Kita berangkat sekarang."

***

AWALNYA kupikir keadaan lalu lintas di Pekanbaru hampir serupa dengan lalu lintas di Batam yang tak terlalu parah macetnya. Namun, ternyata traffic jam di Pekanbaru lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Ruas jalan yang sempit dan macet hampir di mana-mana. Kami sempat stuck beberapa saat di tengah perjalanan, namun berhasil tiba di Mall Ciputro tepat waktu, terbantu karena jarak rumah Om Santo ke mall ini cukup dekat.

Begitu masuk ke dalam bangunan berlantai lima ini, aku langsung merasa mall di sini tak jauh berbeda dengan mall-mall yang ada di Batam. Yang membedakan sekaligus menjadikan mall ini memiliki nilai plus adalah: di sini lebih banyak varian makanan franchise dari luar kota, seperti Ta Won, Ichibon Sushi, Peppor Lonch, dan lain-lain.

"Mereka lagi pada di mana?" tanyaku pada Chris saat kami menaiki eskalator menuju ke lantai dua.

Chris mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans dan membaca pesan yang masuk. "Katanya Kelvin sih mereka udah ngumpul di Cabai Merah. Sebelum lo nanya itu apaan, gue jawab dulu. Cabai Merah itu resto, tempat makan sekaligus tempat nongki. Ngerti, bro?"

Aku terkekeh geli. "Tahu aja deh lo, kalau gue mau nanya. Maklum, di Batam mana ada nama resto begitu. Diri ini 'kan baru keluar dari hutan."

"Pantas aja kelakuan lo kayak tarzan. Lasak, nggak bisa diam."

"Terserah lo, Chris. Malas gue ngeladenin."

"Iya, iya. By the way, lo gugup, nggak?" tanya Chris tatkala kami berjalan menuju restoran Cabai Merah.

Aku menggeleng, tersenyum kecil pada Chris. "Nggak, ah. Awalnya, dikit sih. Cuma gue rasa, nggak harus sampai sebegitu berlebihannya. Lagian gue cuma cinta monyet biasa, gara-gara cinlok doang. Mau dibilang benar-benar suka, juga nggak, Chris. Mungkin lebih ke arah senang aja pas ngobrol sama dia, itu juga sebelum gue tahu kalau ternyata doi udah punya pacar."

Chris manggut-manggut. "Terus. Lo nggak berharap Steve ikut?"

Ah, Steve.

Lelaki pemalu itu.

"Eh, iya. Lo nggak ajak dia meet up sekalian?" tanyaku yang sebetulnya dapat menebak jawaban Chris.

"Udah gue ajak dari sebelum lo sampai di Pekanbaru. Tapi katanya lihat nanti, lihat nanti. Tiba udah harinya, Steve bilang dia malu ketemu sama lo. Gue udah maksa, juga tetap nggak bisa. Heran sih itu anak, susah banget diajak keluar kalau ada cewek yang ikut. Kayaknya kalau tatap-tatapan mata sama lo, bisa pingsan dia," jawab Chris tepat dengan dugaanku. Steve. Pasti. Malu. Hahaha.

"Ketebak banget sih jawabannya. Gue juga udah mulai maklum sama sifat malunya," tuturku tepat di saat kami memasuki sebuah restoran yang dari luarnya saja bau sedap makanan sudah tercium. Resto yang luas dan bersih ini memiliki desain interior yang menawan dengan penataan dan pencahayaan yang baik, cocok untuk kami yang hendak menongkrong.

"Chris! Rika!" panggil sebuah suara yang langsung membuatku menelan ludah. Aku harus siap menghadapinya. Ini bukan hal yang susah. Fighting!

"Rika! Sini!" panggilnya sekali lagi. "Sini dong! Diam-diam bae."

Aku menengok ke arah sumber suara dan saat itu juga mata kami saling bertemu.

Kelvin. Orang yang sempat menjadi teman curhatku.

Dia tengah duduk bersama Feri dan Marimar. Feri adalah sepupuku, anak dari Om Rudi. Marimar adalah sahabat baik Kelvin.

Aku dan Chris berjalan menghampiri mereka. Dalam hati, ada sedikit kegugupan ketika harus bertemu face-to-face dengan orang yang secara tidak langsung sudah mematahkan hatiku. Mau mengelak bagaimanapun juga, tetap saja akan ada sedikit rasa takut yang menerpa. Kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri.

Ada satu kutipan karya Ana Monnar yang kusukai; whatever is going to happen will happen, whether we worry or not.

Apakah kamu setuju?

***

Sampai di sini dulu, teman-teman. VOTE ya! Sebelum itu, ayo coba cek dulu, pasti dari kalian ada beberapa yang belum follow author, 'kan? Yuk, luangkan waktu untuk follow heyitsdeff

Kenapa harus follow? Karena aku berencana untuk menulis cerita lain, jadi kalian akan dapat notif kalau aku up story-nya! Thank you!

You're My ObsessionWhere stories live. Discover now