DUA PULUH EMPAT - 3 HOURS

2.5K 83 3
                                    

DUA PULUH EMPAT - 3 HOURS

          AKU sering mendengar orang mengatakan bahwa waktu adalah harta yang berharga. Dia terus berputar maju mengikuti arah tujuan dan tidak pernah berhenti, apalagi berjalan mundur ke belakang. Maka dari itu, ketika aku duduk berhadapan dengan Steve dan kami saling bersenda gurau, dalam hati aku berharap seandainya waktu dapat menungguku sebentar saja. Aku ingin sekali merasakan setiap detik, menit, dan jam yang kulewatkan bersamanya.

Ini benar-benar momen berharga di hidupku.

"Terus, terus. Eh, kamu ceritain dong kenapa kamu akhirnya mau ketemuan sama aku? Pasti karna Oma, 'kan? Haha!" Aku penasaran apa yang membuat Steve hari ini menampakkan batang hidungnya padahal sebelumnya malu-malu kucing.

Steve menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali dan menarik napas panjang. "Sebenarnya, dari awal kamu di sini, aku udah pengin banget ajak ketemuan. Tapi, aku malu banget, Rika. Bahkan sampai meet up sama yang lain, aku nggak berani. Aku selalu ngerasa aku ini jelek, kayak Om, gend-"

"Shh...," potongku sebelum Steve semakin merendahkan dirinya sendiri. Please, untuk kalian yang di luar sana, jangan pernah look down on yourself. You're worthy of love and joy. Remember that! Never and ever do that. Kalau kamu merasa sedih, aku di sini!

"Steve," panggilku penuh kelembutan. "Jangan pernah merasa begitu. Aku berteman sama kamu bukan karena tampang atau apa pun, aku benar-benar ingin berteman. Kenapa? Karena aku tahu kamu orang baik, karena aku tahu kamu orang yang tulus. Please, aku nggak mau dengar kamu ngomong begitu lagi."

Wajah Steve bersemu merah. Aduh, gemas sekali! Seumur hidupku, baru pertama kali aku bertemu dengan lelaki se-pemalu dan se-menggemaskan ini. Alih-alih merasa ilfeel, aku malah semakin penasaran padanya. Rasanya ingin kuculik dan bawa pulang ke Batam!

"Ah, aku jadi malu dengar kamu ngomong begitu. But, thanks, Rika. Baru kali ini ada orang yang benar-benar membuat aku merasa dihargai. Selama ini, aku orangnya gampang minder. Pertemuan ini nggak akan pernah aku sesali. Aku senang mengenal kamu." Steve menatap kedua mataku lama, senyuman ketulusan tak luput dari wajah tampannya. "Em... sebenarnya, kalau bukan karena Oma dan keluarga yang mendesak aku untuk ketemu. Yang kata mereka setidaknya aku harus menghargai keberanian kamu, sampai-sampai datang ke rumah Tante Lucy, mungkin hari ini kita nggak akan ketemu. Aku tahu, aku ini cowok yang cupu. Nggak berani ketemu sama perempuan berduaan. Tapi mulai dari sekarang, aku akan coba perlahan."

Ingin rasanya aku memeluk Steve, berbisik di telinganya bahwa bersandar di bahuku sama sekali bukan masalah, tapi apa daya aku yang hanya seorang teman ini. "Aku percaya kamu bisa, Steve. Aku senang bisa ngobrol banyak sama kamu walau ini hari terakhirku sebelum kembali ke Batam. Kita sharing banyak banget soal diri masing-masing, saling mengenal meski di awal sempat canggung. Apalagi kerjaanku yang daritadi nendang kaki kamu sampai berkali-kali. Nggak akan lupa! Haha!"

Kami tertawa berbarengan. Steve sampai menghitung berapa kali aku menendang kakinya secara tidak sengaja selama tiga jam ini. Mungkin sehabis ini dia hendak claim asuransi.

"Kayaknya udah delapan kali, deh, kamu nendang kakiku."

"Mau bagaimana lagi, Steve. Mejanya kekecilan buat kita, sempit banget. Meet up selanjutnya, harus di lapangan luas."

"Hehe, iya deh, Rika. Nanti kita sewa stadion."

"Ho-oh. Boleh, tuh!"

Saking lamanya kami mengobrol tanpa henti, aku merasa haus yang luar biasa. Minuman kami sudah tandas tak bersisa. Kalori yang berasal dari burger pun rasanya sudah terbakar semua karena mulut yang tak henti-hentinya berbicara.

Bukan tubuh yang berolahraga, tapi mulut juga bisa.

Hahaha.

Untungnya aku masih memiliki permen berperisa buah mangga di dalam tas. Kuraih permen tersebut dan membuka botolan mini-nya. Aroma mangga mint yang kuat langsung menguar di udara, yep, memang sewangi itu. Nggak heran aku selalu membawanya ke mana-mana.

"Permen?" tawarku pada Steve. "Ini enak banget. Kamu harus nyoba. Nggak akan nyesal."

Steve menaikkan sebelah alisnya. "Masa? Seenak itu, 'kah?"

"Test aja sendiri," kataku, menyodorkan sebotol permen berukuran kecil pada Steve.

Steve mengambil permen yang kutawarkan dan mencobanya, sesaat matanya terperanjat kaget. "Eh, ternyata permennya benaran enak."

"Tuh 'kan, aku nggak pernah bohong kalau soal rasa," kataku penuh keantusiasan. "Kalau enak, aku bilang enak. Kalau suka, aku bilang suka."

Sama kayak aku yang sepertinya mulai suka sama kamu, lanjutku dalam hati.

Kira-kira seperti itulah tiga jam kami lalui dengan penuh dengan obrolan menyenangkan. Awal mula pertemuan yang memicu hatiku menjadi luluh Steve, awal di mana aku akhirnya percaya pada cinta pandangan pertama. Steve-ku. Ah, bolehkah aku memanggilmu sebagai Steve-ku?

Satu-satunya lelaki yang semoga akan menjadi milikku.

Kutanya sekali lagi.

Bolehkah aku?

***

Sampai di sini dulu, teman-teman. VOTE ya! Sebelum itu, ayo coba cek dulu, pasti dari kalian ada beberapa yang belum follow author, 'kan? Yuk, luangkan sejenak waktu kalian untuk follow @heyitsdeff

Kenapa harus follow? Karena aku berencana untuk menulis cerita lain dalam waktu dekat, jadi kalian akan dapat notif kalau aku up story-nya! Thank you!

You're My ObsessionWhere stories live. Discover now