DUA PULUH LIMA - PACARAN

3.5K 86 6
                                    

DUA PULUH LIMA - PACARAN

SETELAH pertemuanku dengan Steve di MekDonald berlalu, aku terus berpikir, bagaimana selanjutnya? Akankah aku dan Steve tetap berteman? Atau dia justru malah menghilang? Em, katakanlah aku terlalu negative thinking. Tapi, kalian tahu sendiri 'kan, bagaimana respon seseorang yang sesudah bertemu malah kapok? Sehingga mereka lebih memilih untuk mengabaikan ketimbang terus berhubungan?

Sejujurnya, aku takut kalau sampai hal itu benar-benar terjadi. Bahkan sepulang dari meet up, aku sengaja tidak mengontak Steve. Alasannya adalah aku ingin melihat seberapa besar usahanya bertindak balik, mengingat aku sudah mengeluarkan effort yang lumayan. Bukannya aku perhitungan, tidak sama sekali. Namanya hubungan, pasti antara kedua belah pihak, bila hanya satu saja yang terus berusaha, untuk apa? Sia-sia, 'kan?

Kalau sepulang dari MekDonald and dia nggak chatting sama sekali, aku anggap pertemanan di antara kami selesai dan aku nggak akan ganggu Steve lagi, mau bagaimanapun keadaaannya, pikirku pada saat itu yang hopeless.

Awalnya, aku hanya bisa pasrah karena merasa Steve tak begitu tertarik denganku. Padahal pertemuan pertama kami saat itu menjadi awal di mana aku tersadar bahwa hatiku telah jatuh. Aku mengalami cinta pada pandangan pertama. Hanya dia satu-satunya lelaki yang mampu membuatku bertahan dan terus mengejar walau diawal ajakanku terus ditolak.

Kalau mengejar lelaki lain sampai seniat itu mah, aku ogah.

Nggak tahu 'deh kenapa sama Steve aku bisa sampai sebegitu terobsesinya.

Beruntung, dewi fortuna akhirnya memihak padaku setelah sekian purnama. Steve, lelaki paling pemalu yang pernah kukenal, akhirnya lebih dulu menghubungiku. Setelah itu semua berlalu dengan begitu cepat, hubungan kami yang mulanya sekadar teman pun menjadi lebih dari itu. Tentu saja semua didukung dengan frekuensi berkomunikasi kami yang semakin meningkat. Hampir ke mana pun aku pergi, Steve selalu menemaniku lewat video call.

Dia sudah menjadi bagian dari keseharianku dan hidupku.

Kira-kira sebulan kemudian, setelah pertemuan pertama kami di MekDonald, Steve akhirnya resmi menjadikanku sebagai kekasihnya. Dia mengutarakan perasaannya lewat video call dan bertanya apakah aku boleh menjadi pacarnya, yang tanpa ragu kujawab dengan sebuah anggukan kepala.

Betapa bahagianya aku malam itu, sampai kata tidur pun mendadak hilang dari kamusku.

Ketika Steve mengakui bahwa dirinya pun jatuh pada pandangan pertama.

8 Agustus 2016.

Hari bersejarah di hidupku yang takkan pernah terlupakan.

Sebenarnya Steve ingin menemuiku secara langsung, namun kami terpisahkan oleh jarak. Sehingga dia mengatakan bahwa video call adalah satu-satunya cara yang paling gentle ketimbang melalui chatting. Ah, aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Namanya orang yang sedang kasmaran, diberi kotoran juga terasa seperti manisan.

Bukankah begitu? Hahaha.

Nah.

Kini kalian telah mengetahui bagaimana ceritanya aku dan Steve bisa saling mengenal, bagaimana usaha-usaha yang dilakukan agar dapat bertatap mata, sampai akhirnya saling merajut rasa.

Setelah ini, aku akan menceritakan kepada kalian bagaimana kisah kami saat berpacaran.

Kuharap kalian tidak bosan, ya?

Terima kasih sudah bertahan hingga sejauh ini.

Part perkenalan hingga pacaran, aku akhiri di sini.

Eh, tunggu.

Sebelum cerita ini kututup.

Ada satu hal yang hingga hari ini dan beberapa tahun setelahnya, belum Steve ketahui.

Bahwa pada saat meet up itu, Steve sempat menanyakan padaku.

"Siapa yang mengantar kamu ke sini, Rika?"

"Sepupuku," jawabku singkat, sewaktu itu masih malu-malu.

Aku ingat waktu itu Steve mengangguk, sebelum kembali bertanya, "Rika ke sini naik mobil, 'kan? Nggak naik motor, 'kan?"

Awalnya aku sempat bingung. Apa maksud Steve menanyakan hal tersebut, kupikir dia hendak menghinaku, tapi aku segera tersadar karena terdengar nada kekhawatiran dalam suaranya.

Aku segera mengelak. "Em... aku diantar naik mobil, kok. Tenang aja."

Ya, saat itu aku berbohong hanya untuk membuatnya merasa tenang.

Padahal, aku sampai harus meminta bantuan Kak Suzen untuk mengantarku menaiki motor matic-nya. Di mana saat itu matahari sedang terik-teriknya, aku harus mengikat rambutku agar tidak kusut karena angin, dan berdiam diri di dalam toilet selama kurang lebih lima menit untuk memastikan bahwa keringatku telah kering dan menormalkan degupan jantungku yang tak karuan.

Sampai seniat itu usahaku. Ah, aku mengetik ini dengan perasaan campur-aduk, teringat hari bahagia itu. Walau akhirnya, saat kami berpisah sore itu, Steve sama sekali tak menawarkan tumpangan untuk pulang. Katanya, dia terlalu gugup kalau sampai harus berduaan saja denganku di dalam mobil. Ya, tidak masalah. Lagipula, Steve tidak pernah tahu akan hal ini. Bahkan setelah kami berpacaran, aku lebih memilih untuk tidak mengungkitnya karena tidak mau membuatnya dirundung perasaan bersalah.

Biarlah ini tetap menjadi rahasia di antara kita.

Aku dan para pembaca.

***

*SELESAI*

Sampai di sini dulu, teman-teman. VOTE ya! Sebelum itu, ayo coba cek dulu, pasti dari kalian ada beberapa yang belum follow author, 'kan? Yuk, luangkan sejenak waktu kalian untuk follow @heyitsdeff

Kenapa harus follow? Karena aku berencana untuk menulis cerita lain dalam waktu dekat, jadi kalian akan dapat notif kalau aku up story-nya! Thank you!

You're My ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang