14 November : Tempat Asing

233 60 8
                                    

Seorang pria duduk bersila di atas pelataran kayu, memutar tasbih. Bibir bergerak seiring hati, mengulang zikir.

Mentari senja hangatkan kulit. Saat mencapai ujung tasbih, matanya terbuka perlahan.

"Zhafran ... "

Suara tua yang bergetar lemah, membuatnya berdiri dan masuk ke dalam rumah mungil berdinding batu.

"Ya Syeikh?" Jawabnya sambil menggenggam lembut tangan pria tua yang tengah terbaring.

Pria itu bicara dengan bahasa Arab. "Kembali ke tempat asalmu! Tinggalkan saja aku!"

Zhafran tersenyum getir. "Maaf. Aku tidak akan meninggalkan Syeikh sendirian di sini dalam keadaan sakit."

Grep! Pria berjanggut putih itu mengeratkan genggaman tangan Zhafran.

"Aku bermimpi buruk. Cincin itu berlumuran darah. Mereka menggunakannya untuk memperdaya manusia! Kamu harus segera kembali sebelum korban lain berjatuhan!"

Wajah Zhafran berubah sedih. "Cincin itu sedang menjalani takdirnya. Dan begitu juga aku, sedang menjalani takdirku di tempat ini. Tolong, Syeikh. Izinkan aku menemani Syeikh hingga akhir."

Keduanya bertatapan haru. Semenjak kematian kedua putranya, Syeikh Adnan sakit-sakitan, kakinya lumpuh. Beberapa ahli pengobatan didatangkan, tapi belum menampakkan tanda perbaikan.

Karena usia, kata mereka. Tapi Zhafran tahu, sakit beliau lebih dari sekedar karena usia, tapi karena kehilangan dan kerinduan pada kedua putranya.

"Syeikh lapar? Atau mau kubuatkan ramuan lagi?"

Gurunya menggelengkan kepala. "Nanti saja. Amalan zikir petangmu sudah dikerjakan?"

"Sudah Syeikh. Istirahatlah. Jangan mencemaskan apa pun. Insyaallah, pertolongan Allah akan datang." Dia mencium kening gurunya, lalu pamit ke teras. Berdiri di puncak salah satu titik tertinggi deretan perbukitan Sinai, Mesir.

Syeikh Badawi bertandang menemuinya dalam mimpi. Memberitahukan padanya bahwa beliau telah wafat, dan bahwa cincin itu telah dicuri. "Aku belum bisa pulang, Syeikh. Guruku Syeikh Adnan sedang sakit keras."

Matanya menerawang. Perbukitan batu kecoklatan, padang pasir dan senja yang tenggelam, berpadu indah. Jauh dari hiruk pikuk duniawi. Tempat yang sebenarnya asing baginya.

Tapi demi orang yang mengajarinya ilmu, dia rela bertahan di tempat asing ini, menemaninya entah sampai kapan.

CINCIN MATA SEMBILAN - RAWS Festival 2019Where stories live. Discover now