19 November : Pertemuan Yang Terlambat

225 62 20
                                    

Anak kecil berusia 7 tahun itu duduk bersila. Kulitnya coklat, tatapannya tajam. Gayanya agak nyentrik. Mengenakan jubah garis-garis hijau, sorban hijau dan ... mengunyah daun kelor hijau.

"Ustad katanya mau ketemu saya?" tanya anak itu sambil mengeluarkan kunyahan daun dan membungkusnya dengan tisu. Perlu antri berjam-jam untuk bisa bertatap muka dengan anak ini. Pasien berdatangan sejak ba'da Subuh hingga ba'da Isya seolah tak ada habisnya.

"Ehm ...  Ya. Nama saya Umar. Saya utusan dari ... "

"Syeikh Abdullah?" tebaknya.

Hening sesaat. "Ya. Benar. Saya murid beliau."

Mendadak anak itu mengurut kening, mengoceh sesuatu dalam bahasa Jawa. "YA ALLAAHH! AK.HIR.NYAAA MEREKA DATANG!" Pekiknya sambil berdiri. Ustad Umar bengong.

"Kenapa kalian lama sekali?? Kita berangkat sekarang? Ayo!"

Mulut Umar ternganga. "E-eh ... ! Tapi ... saya belum jelaskan."

Anak itu menggeleng. "Tidak perlu. Saya paham. Sebentar." Dia memanggil seseorang. "MAS SLAMEEETT!!!" Muncul pria muda berblangkon dari belakang tirai. Asisten, sepertinya.

"Tolong Mas. Ambilkan tas cangklong saya di kamar. Katakan pada Si Mbok, saya sebentar lagi pamit berangkat ke Timur Tengah."

"Nggih Den Guntur," jawabnya sambil membungkuk sopan.

Tak lama, Guntur sudah siap dengan tas cangklong melintang di depan dada. "Ayo kita berangkat, Ustad."

"I-iya," Ustad Umar masih bingung dengan perilaku anak ini. Ekspresi mukanya pun tak bisa ditebak.

Saat akan keluar dari pintu, tiba-tiba Guntur menghentikan langkah. Nyaris Umar menabraknya dari belakang.

"Tapi ... perlu saya jelaskan dulu. Bahwa mungkin untuk Syeikh Adnan, pertemuan ini sebenarnya sudah terlambat."

"Terlambat? Apa ... Syeikh Adnan sudah ... "

"Bukan itu. Beliau masih hidup."

Umar menatapnya penuh tanda tanya. "Lalu maksudnya terlambat bagaimana?"

Gunter menatapnya serius. Sedetik, lalu nyengir lebar. "Lupakan saja. Sekalipun terlambat bagi gurunya, tapi bagi muridnya, insyaallah kita belum terlambat."

Pria itu mengernyitkan dahi, tak mengerti. Menatap bocah antik di depannya yang kini sibuk menyenandungkan tembang Jawa.

Melakukan perjalanan panjang ke Mesir bersama anak ini ... semoga dirinya tabah.

CINCIN MATA SEMBILAN - RAWS Festival 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang