3 || Volunteer

394 88 139
                                    

Cerita di revisi sedikit agar lebih rapi dan tersusun.
Happy reading 😊😊
.............................................................

"Seandainya aku tidak percaya cinta, mungkin aku akan mengenal namanya tertawa."

Seperti biasa, rutinitas yang aku jalani di tiap harinya. Bunda adalah sosok manusia yang sangat tidak suka jika orang yang keluar dari rumahnya tidak sarapan terlebih dahulu. Karna baginya, sarapan itu penting untuk memulai aktivitas seharian penuh.

Dimeja makan walaupun terdengar tidak sopan tapi kami selalu bercengkrama. Karena baik aku dan kakakku sama-sama jarang di rumah sehingga yang namanya family time jarang kami lakukan kecuali saat sarapan. Berhubung ruang makan dan ruang tengah rumah kami tidak memiliki sekat, kami bisa makan, mengobrol, dan menonton TV di waktu bersamaan.

"Jadi gimana skripsinya kak? Lancar?" tanya bunda.

"Ya gitulah. Males banget sama dosennya. Kan di awal udah acc tuh, pas ngajuin chapter selanjutnya,
chapter sebelumnya di revisi lagi," celoteh kak Saya.

Aku mendengar percakapan mereka tapi tidak terlalu fokus karena saat ini fokus ku terbagi menjadi tiga, roti panggang di tangan, obrolan bunda dan kak Saya, serta statiun televisi yang menampilkan berita-berita terbaru.

"Maksudnya gimana kak? Mungkin kamu kurang teliti kali?"

"Ih gini loh bun-"

Ku lirik kak Saya meletakan kembali roti serta selai kacang yang tadinya ia pegang.

"Kan Aya udah buat skripsinya terus minggu kemarin Aya nemuin dosen pembimbing Aya, Pak Suhendi si udah bilang iya. Bener chapter dua nya terus kemarin pas Aya ngajui chapter tiga dia malah mau lihat chapter dua Aya yang kemarin terus di revisi lagi. Kan lamaa! Maksudnya, kalau emang masih belom beres chapter dua nya di revisi bener-bener jangan di acc gitu aja."

Aku dan bunda saling lihat dan mencoba menahan tawa. Melihat kak Saya menggerutu seperti itu benar-benar mengelitik perutku, ia lucu ketika kesal.

"Yaudah, selesain aja. Jangan di bikin pusing," ujar bunda.

"Lu pas buat laporan akhir digituin juga nggak?"

Ku pastikan dia berbicara pada ku.

"Iye."

"Di bilangin bodoh juga nggak?"

"Iye."

"Terus lu diem aja dek?"

"Ya mau gimana lagi kak? Kalau dosen bilang kita bodoh ya udah di diemin aja. Toh kalau kita pinter kita yang ngajarin mereka, kita yang ngebimbing mereka."

"Tuh dengerin apa kata adek kamu," mendengar perkataan tersebut membuat kak Saya memanyunkan bibirnya. Aku kembali pada saluran TV yang dari tadi menarik perhatian ku.

"Fokus amat dek," kata bunda.

"Ah enggak bun, itu ada berita Pakistan dilanda gempa. Frekuensinya sih nggak gede tapi di liat dari liputannya rumah-rumah di sana pada hancur kasihan aja," jelas ku.

To Have Eaten A Monkey || Bright Vachirawit ✔️Where stories live. Discover now