5. First Date : Apakah kita akan berhitung sampai akhir?

20.8K 431 6
                                    

"Jadi, emm... apa yang bikin lo putus?" gue membuka pembicaraan. Tapi sebelum gue tulis gimana jawaban Alvin, gue mau sedikit flashback dulu sebelum sampai di detik ini. Tepatnya sebelum gue sama Alvin duduk di dek kapal Feri yang akan membawa kita ke pulau seberang.

Benar, kalian nggak salah baca. Gue lagi naik kapal Feri sama Alvin.

Semalem, percakapan didominasi oleh Alvin, doi semangat ceritain soal pekerjaannya sebelum di Pharma, soal kehidupan kampusnya, kotanya, hobinya sampai cerita kenapa bisa lulusan Hukum jadi Data Scientist.

"Emang kalo Hukum, tugas kuliahnya bikin apaan?"

"Well, ya dikasih studi kasus sama dosen, suruh nyari solusi pemecahannya dan itu bisa dua lembar kertas folio yang ternyata nggak ke pake di dunia kerja kayak sekarang." lanjutnya

"Ya make sense sih, apalagi kerjaan lo juga berkecimpung di dunia Data dong. Mungkin bakalan kepakai kalo lo kerja jadi pengacara dan mewujudkan perdamaian dunia"

"Passion gue nggak disana masalahnya. Gue suka analisis data" jawabnya

Malam kemarin gue tau satu hal, doi ternyata adalah tipe pencerita yang baik, semua yang keluar dari bibirnya seakan menghipnotis siapa aja yang dengerin. Dan sialnya, gue nggak bisa mengalihkan perhatian sedikitpun darinya.

Dan malem kemarin ditutup sama chat dari dia yang isinya 

"Giliran gue yang dengerin cerita soal lo besok"

Dan bener. Hari ini, jam 2 siang doi udah jemput gue dirumah. Darimana doi tau rumah gue, ya sebagai lelaki yang tanggung jawab, semalem doi nganterin gue pulang.

Singkatnya, gue diajak ke arah utara kota sampai mobil doi berhenti di parkiran sebuah pelabuhan.

"Kita bakalan nyebrang, naik kapal. Nggak keberatan?" katanya sebelum turun dari mobil

"Nggak masalah, cuma gue nggak ngerti gimana caranya interaksi sama penduduk sana"

Doi ketawa pelan.

"Pake bahasa Indonesia yang baik dan benar April. percaya sama gue"

Percaya sama gue . 

Kenapa ini manusia malah nyuruh gue buat percaya sih, sesuatu yang nggak mungkin. Karena, yah... semua yang kenal gue pasti tau kalo gue adalah orang yang sulit banget buat bisa percaya sama orang lain.

Setelah membeli dua tiket, kita berdua jalan ke atas kapal. Matahari sudah sedikit turun. Gue pake sunglasess dan membiarkan rambut panjang gue jadi kusut kena angin. Gue nggak bawa tali rambut, sebuah kebiasaan.

Alvin mengenakan setelan kaos polo hitam dan celana krem. Cocok banget di badannya. Dan wangi parfum yang sepertinya nggak hilang dari tadi. Curiga, jangan-jangan doi makenya setengah botol sendiri.

"April?" panggilnya.

"Wuut?" jawab gue

Doi senyum, "emang harus dijawab 'wuut' gitu tiap dipanggil?"

"Kenapa Alvin?" jawab gue kemudian

"Lo nggak penasaran kenapa gue ajak nyebrang?"

"Nggak sih, paling sial lo mau beli golok buat bunuh gue disana. Itu pun kalo lo ternyata psycopat"

Doi ketawa "Gue serius".

"Dari awal gue juga udah serius" jawab gue

"Gue masih nggak yakin, lo beneran suka atau cuma ambisi?"

Kali ini gue natap wajahnya. "Gue serius. misal nih, di dunia ini nggak ada lagi yang bisa lo percaya, tapi ada satu hal yang masih bisa lo percaya, bahwa gue beneran jatuh cinta"

"Lo emang harus sepuitis gini kah?"

Gue mencibir "padahal gue lagi serius-seriusnya"

Doi terkekeh, "oke, gue bakalan mencoba percaya"

Kita berdua cemberut, kemudian tersenyum dan tertawa lepas. Gue nggak pernah kepikiran bakalan kencan pertama diatas kapal kayak gini. Malah ini adalah ajakan dari doi. Dan bener, gue hari ini seneng banget. Angin sore yang lembut dan matahari sore yang lagi bagus bagusnya ditambah senyum dan tawanya Alvin bener-bener kombinasi yang sangat pas.

Dan disinilah akhirnya pertanyaan gue diawal chapter ini gue tanyain ke doi.

"Jadi, emm... apa yang bikin lo putus?"

Doi diam sebentar, matanya menerawang jauh melihat ombak. Sebelum akhirnya mendesah dan mengatakan hal yang nggak gue duga sama sekali.

"Possesive"

Oke, gue sempat menarik napas panjang. Tapi gue diem. Memberikan doi waktu buat cerita lebih lengkap.

"Singkatnya, gue nggak punya waktu buat hidup gue sendiri, buat hobi gue, buat temen-temen gue. Dan kami sering bertengkar perihal itu. Sampai akhirnya, gue jadi sering bohong ke dia. Gue mulai sering keluar nggak bilang, dan itu ternyata malah bikin gue lega."

Alvin menarik napas panjang, seperti sedang membuang bebannya ke laut. Gue masih melihat ke bola matanya. Mendengarkan.

"Sampai kemarin, kami berantem hebat banget dan gue rasa, gue udah nggak bisa lanjutin hubungan selama 3 tahun ini"

"Gilaaa...." reflek gue. Alvin menoleh dan tersenyum.

"Iya bener, gue udah stay sama dia selama 3 tahun. Dan coba bayangin 3 tahun dia selalu posessive"

"Super sekali...." reflek gue lagi. Sial emang, Kenapa pas gini reflek gue bisa-bisanya malah ngeselin.

"Dan tadi pagi, doi hubungin gue lagi. Katanya minta buat ketemu. Mau ngobrol. Pagi tadi, sebelum gue jemput lo, gue udah ketemu dulu sama dia"

Oke baik. Kali ini harga diri gue sedikit terluka.

"Intinya dia minta maaf dan janji nggak gitu lagi. Tapi gue ragu, April" Doi menoleh ke arah gue.

Hening , hanya suara angin yang ada di antara gue sama Alvin sekarang. Sebelum akhirnya gue angkat bicara.

"Apa yang bikin lo ragu Vin, bukannya kayak gini pasti pernah terjadi sebelumnya, apalagi 3 tahun bukan waktu yang sebentar dan lo rela lepasin waktu selama itu hanya karena ragu?"

Doi diem. Jadi gue lanjut.

"Gini, harusnya lo lebih paham soal ini. Jadi, ada satu kuasa yang kita nggak bisa lawan. Dan tentunya kita juga nggak boleh berburuk sangka sama ketetapanNya. Gue nggak lagi mencoba menggurui, tapi mendahului kehendakNya itu nggak baik, nggak boleh"

Doi menoleh, menggangguk. Masih diam, sesekali menyelipkan anak rambut gue yang terbang kena angin ke belakang telinga gue.

"Rasa ragu lo itu sama aja dengan mendahului kehendakNya, Vin. apalagi dia udah merendahkan egonya, meminta kesempatan dan mau memperbaiki semuanya, apa salahnya lo terima kembali niat baiknya."

Alvin kembali menatap gue lagi, doi mengenggam jemari gue. Gue kaget. Cuy... posisi lagi ngobrol kayak gini dan doi tiba-tiba banget genggam tangan gue. Lemes dong cuy...

"Percayalah, gue ngomong kayak gini juga sakit banget." lanjut gue. Alvin semakin menggenggam erat tangan gue dan itu makin bikin gue hancur. Air mata gue mulai turun. Doi buru-buru melarikan jarinya buat hapus airmata di pipi.

"Gue kemarin sempet seneng waktu denger lo putus. Tapi gue nggak boleh bahagia diatas luka orang lain. Lo pasti tau itu."

Hening.. Alvin diam. Gue pula. Kita sama-sama tenggelam dengan pikiran masing-masing. Bunyi peluit panjang dari kapal menandakan bentar lagi kami tiba di pulau seberang. Langit sudah berubah warna menjadi jingga, indah sekali. Gue mengamati senja kali ini dengan jemari yang masih ada di genggamannya sebelum akhirnya Alvin membuyarkan keheningan.

"Yang bikin gue ragu sebenarnya bukan soal dia, tapi soal gue sendiri."

Alvin menarik napas panjang

"Gue sendiri.... Gue sendiri yang udah mulai suka sama lo"

Love IssueWhere stories live. Discover now